Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang kunjung tak tertangani dengan baik akan mempengaruhi kinerja sektor manufaktur. Beberapa sektor industri diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan negatif tahun ini.
Industri tekstil misalnya, diperkirakan sampai akhir tahun nanti pertumbuhannya sekitar minus 1%. "Kami juga tidak terlalu yakin dengan momen natal dan tahun baru bisa mengangkat pertumbuhan," terang Rizal Rakhman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) kepada Kontan.co.id, Kamis (17/9).
Sebab saat ini daya beli masyarakat masih belum menguat, apalagi pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) turut menghambat penjualan produk di tingkat ritel. Lantaran permintaan yang menyusut maka produksi pabrikan akan berkurang.
Saat ini saja untuk industri hulu yakni bahan baku tekstil rata-rata utilisasi nasional baru mencapai 40%, sementara untuk industri tengah yang memproduksi kain rajut sekitar 60%. Padahal saat masa normal, kata Rizal, utilisasi bisa mencapai 80%-90%.
Sedangkan industri hilir tekstil berupa garmen rata-rata utilisasi sudah mencapai 80%. Kenaikan tersebut dibantu oleh permintaan masker dan Alat Pelindung Diri (APD) serta peluang menembus kebutuhan pasar ekspor.
Kondisi yang sama juga dialami industri makanan dan minuman (mamin), dimana penurunan permintaan menyebabkan produksi menyesuaikan permintaan pasar. Alhasip pabrikan mamin turut mengencangkan ikat pinggang dengan melakukan efisiensi dari segala lini lantaran penjualan yang kurang memuaskan.
Baca Juga: Kemenperin memperkuat industri bahan baku obat
Namun Adhi Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengatakan pihaknya masih optimistis tahun ini industri mamin memperoleh pertumbuhan setidaknya 2%-3% dibandingkan tahun lalu.
Potensi yang ada datang dari stimulus pemerintah kepada masyarakat dengan pemberian bantuan langsung tunai, insentif pekerja dan bantuan lainnya. Diharapkan program bantuan sosial pemerintah dapat mendorong daya beli masyarakat yang pada akhirnya menguatkan serapan produk mamin di pasar ritel.
Terkait pembatasan sosial, saat PSBB pertama yakni di periode April penjualan mamin ditingkat ritel diakui Gapmmi anjlok. "Juni saat PSBB transisi sudah mulai membaik, tapi kalau diperketat lagi seperti sekarang tentu kemungkinan ada penurunan," urainya kepada KONTAN, Rabu (16/9).
Adapun PSBB kali ini diperkirakan penurunannya diperkirakan tidak setajam PSBB tahap pertama, yang mana saatbitu tidak hanya DKI Jakarta saja yang melakukan namun diikuti oleh berbagai provinsi. Masalahnya ibukota Indonesia ini diperkirakan Adhi menyumbang hampir 40% penjualan mamin ritel nasional tiap tahunnya, jadi pemberlakukan PSBB di Jakarta sangat signifikan bagi kinerja industri ini.
"Untuk itulah kami berharap tidak diperpanjang lagi PSBB ini," sebut Adhi. Jika waktu PSBB lebih dari dua minggu tidak menutup kemungkinan pasar mamin semakin turun, hanya saja Gapmmi belum dapat memproyeksikan kondisi tersebut.
Dilain pihak Firman Bakri, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengakui bahwa PSBB kali ini akan berdampak pada penurunan permintaan sepatu di tingkat ritel. "Secara prinsip pasar tetap ada karena tempat berbelanja boleh beroperasi dengan kapasitas 50%, namun pasar pasti ada penurunan," katanya kepada KONTAN, Selasa (15/9).
Adapun efeknya bagi serapan produk sepatu nasional, asosiasi masih menghitung, sebab Jakarta bukan satu-satunya tujuan produk alas kaki. Namun Jakarta sendiri diakui Aprisindo memiliki nilai pasar alas kaki yang besar mengingat jumlah penduduknya yang juga banyak.
Pelemahan permintaan ditingkat ritel turut mempengaruhi kinerja pabrikan, mau tak mau industri alas kaki harus mengetatkan ongkos dan beban lainnya dikarenakan penjualan yang kurang baik. Sebenarnya kata Firman, saat PSBB transisi secara perlahan permintaan sepatu mulai membaik.
Bahkan Aprisindo memproyeksikan jelang natal dan tahun baru nanti permintaan di akhir bulan dapat menyamai akhir bulan di masa normal sebelum pandemi Covid-19. Namun lantaran PSBB dilakukan kembali, Firman bilang asosiasi masih mengkaji lagi prediksi tersebut.
Baca Juga: Menko Ekonomi: Kesempatan bagi Indonesia ganti posisi China sebagai tujuan investasi
Sementara itu Edy Suyanto, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menerangkan saat pelaksanaan PSBB awal April di DKI lalu sempat terjadi pelarangan toko ritel keramik. "Hal tersebut telah memaksa industri keramik turunkan utilisasi produksi dari 65% menjadi 30% yang disertai dgn perumahan karyawan sekitar 15.000 orang," kata Edy.
Hal ini disebabkan penjualan produk keramik mayoritas 70%-75% melalui toko ritel keramik dan sisanya melalui toko bahan bangunan. Adapun kata Edy, DKI Ibukota dengann daya beli yang lebih tinggi dibanding kota lainnya, diperkirakan sekitar 20% penyerapan keramik ada di provinsi tersebut.
Dari sisi produksi, anggota Asaki tidak ada yang memiliki pabrik di Jakarta sehingga tidak terdampak langsung dengan pembatasan opersional pabrikan. Namun dampaknya bakal terasa ke sisi penjualan ritel di ibukota.
Edy menilai saat ini sesungguhnya industri keramik baru saja memasuki tahap pemulihan semenjak pertengahan bln Juni yang lalu sehingga secara cashflow masih berat. Asaki tidak secara terang menyebutkan dampak PSBB kali ini terhadap sektor bisnis keramik, namun kata Edy, apabila toko-toko ritel keramik dan sanitaryware tetap diminta tutup maka pengurangan kapasitas produksi sudah tidak bisa dihindari termasuk perumahan karyawan.
Selanjutnya: Hadapi PSBB Jakarta, industri manufaktur kencangkan ikat pinggang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News