kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasar oli makin ramai dengan pemain baru


Senin, 05 Desember 2016 / 17:35 WIB
Pasar oli makin ramai dengan pemain baru


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Kebutuhan oli atau pelumas di dalam negeri terus meningkat setiap tahun, seiring lonjakan jumlah kendaraan bermotor, industri manufaktur, maupun menjamurnya pembangkit listrik.

Merujuk data Kementerian perindustrian, total kebutuhan oli pada 2014 saja sudah mencapai 1,65 juta kiloliter. Di Indonesia, saat ini, terdapat 22 pabrik pelumas dengan total kapasitas produksi terpasang mencapai 1,8 juta kiloliter. Artinya, kebutuhan pelumas sebetulnya masih bisa dipenuhi 100% dari dalam negeri bahkan berlebih. Namun faktanya pasar domestik yang besar ini justru dikuasai oleh produk-produk pelumas impor. Bahkan ada dugaan beredar juga pelumas impor ilegal dan oplosan.

Produsen oli lokal mengklaim hanya memproduksi 850.000 kiloliter atau sekitar 47,2% dari total kapasitas. Sisa untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yakni sekitar 800 juta kiloliter diisi oleh produk pelumas impor.

Nah, dari kebutuhan pelumas di dalam negeri ini, terbesar memang masih digunakan untuk melumasi mesin kendaraan bermotor, mulai motor, mobil pribadi, bus, truk, hingga alat berat. Hanya saja tidak ada angka pasti kebutuhan pelumas untuk kendaraan bermotor setiap tahun. Namun porsinya diperkirakan lebih dari 80%. Maklum populasi kendaraan bermotor yang sekarang ini mencapai 104 juta unit.

Penjualan mobil ini akan terus bertambah. Jika tahun ini penjualan mobil baru di prediksi tembus satu juta unit, tahun depan diprediksi meningkat lagi atau minimal sama. Ini berarti pasar pelumas otomotif akan terus mekar. Bagi perusahaan asing pertumbuhan ini menjadi potensi besar untuk mengeruk cuan. Sebagian produsen yang melihat potensi bisnis jangka rela merogoh kocek untuk berinvestasi membangun pabrik pelumas apakah sekadar pengemasan di Indonesia tapi suplai pelumas curah dari luar, atau memproduksinya sendiri.

Misalnya November 2015, produsen pelumas asal Belanda, Shell mengoperasikan pabrik baru di Bekasi, Jawa Barat. Pabrik ini berkapasitas 136.000 kiloliter per tahun. Tak mau ketinggalan Phillips 66 Lubricants, perusahaan oli dari Amerika Serikat (AS), lewat anak usahanya PT Kendali Andalan Sempurna, yang resmi masuk pasar Indonesia per Maret 2016.

Pada November lalu, brand pelumas dan aditif asal AS, Bardahl, kembali masuk pasar pelumas di Indonesia setelah cukup lama vakum. Bardahl masuk lewat distributor barunya di Indonesia, PT Anugerah Lubricant Indonesia (ALI), yang merupakan kepanjangan tangan dari Bardahl Asia Pacific Ltd Pte yang berbasis di Singapura. Pelumas dan aditif Bardahl sendiri diproduksi oleh Bardahl Manufacturing Corporation (BMC) yang bermarkas di Seattle, Washington D.C. Marcus Goh, dari Bardahl Development Manager Asia Pacific menyebutkan, pihaknya melihat ada peluang pasar yang masih sangat besar yang bisa digarap di Indonesia.

Sontak, kemunculan pemain baru tersebut semakin meramaikan riuh pasar pelumas yang sudah digarap PT Pertamina Lubricant, PT Jumbo Power International, PT Wiraswasta Gemilang Indonesia (WGI), PT Nusaraya Putramandiri, PT ALP Petro Industry. Kemudian, PT Castrol Indonesia, PT Pacific Lubritama Indonesia, PT Tri Hasta Perkasa, PT Dirga Buana Sarana, PT Fuch Indonesia, dan lain-lain. Belum lagi masih ada 200 importir pelumas antara lain Millenium, BFT, Top 1, Caltex, BP, United Oil, dan Capiro.

Melelehnya bisnis pelumas di tanah air lantaran aturan main di bisnis ini tergolong lunak. Misalnya, mereka yang cuma berdagang oli impor cukup berbekal  Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Aturan NPT diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 53 Tahun 2006. Setelah mengantongi NPT, para importir dengan mudah dan leluasa membawa masuk pelumas.

Padahal Indonesia sejatinya sudah memiliki standar nasional untuk produk pelumas. Seperti standar yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), lewat aturan SK no 108/KEP/BSN/5/2016 yang merupakan revisi dari 62/KEP/BSN/07/ 2005. Hanya saja aturan ini sifatnya sukarela, dan tidak ada kewajiban dari pemerintah kepada produsen oli.

Akibatnya volume impor masih tetap tinggi. Mirisnya, oli oplosan  bahkan oli impor yang dipalsukan juga beredar luas di pasaran yang bisa mengancam produsen lokal.
Kondisi inilah yang membuat pemerintah mulai sadar diri. Kementerian Perindustrian menjanjikan segera  membuat aturan untuk mewajibkan semua produsen dan pedagang oli mematuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib bagi produk pelumas mulai Juni 2017.

Kebijakan ini merupakan hak pemerintah untuk proteksi terhadap produk lokal dari gempuran barang impor. Persyaratan mendapatkan SNI sejatinya hampir sama saat mengurus NPT.  Kelak, SNI wajib pelumas menjadi pendukung NPT yang selama ini menjadi tolok ukur standar dan mutu pelumas. Menurut Direktur Industri Kimia Hilir Kemprin Teddy Sianturi, kebijakan SNI untuk produk pelumas tersebut nantinya akan dituangkan dalam payung hukum melalui Peraturan Menteri Perindustrian. Saat ini beleid tersebut masih digodok oleh Kemperin dan Kementerian ESDM.

Ada tiga tujuan utama sertifikasi SNI pada produk pelumas. Pertama, memberikan perlindungan konsumen atas mutu pelumas yang ada di pasar Indonesia. Kedua, memajukan industri pelumas dalam negeri. Ketiga, meningkatkan daya saing industri dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sebagai tahap awal, SNI wajib ditujukan bagi pelumas di sektor otomotif. Saat ini, regulasi SNI oli di Indonesia masih bersifat sukarela. Ada 23 produk pelumas di dalam negeri yang telah mengantongi sertifikat SNI. Dari jumlah itu, 13 produk diantaranya diproduksi oleh Pertamina Lubricant.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×