Reporter: Handoyo | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Industri pengolahan perikanan mendesak pemerintah untuk membenahi produksi perikanan nasional. Tanpa hal itu, upaya pengendalian impor ikan dapat menjadi bumerang bagi mereka. Sebab, permintaan ikan kaleng terus menanjak dari tahun ke tahun, sementara pasokan ikan dalam negeri makin minim.
Ketua Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Hendri Sutadinata berujar, dalam satu tahun terakhir, kondisi industri pengolahan ikan agak kurang baik. Penyebabnya datang dari dua hal. Pertama, pasokan bahan baku minim. Kedua, diberlakukannya izin impor.
Hendri mencatat, sudah dua tahun ini industri kekurangan pasokan ikan lemuru lokal sebagai bahan baku pembuatan sarden. Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa harus mengimpor ikan lemuru dari China dan India. "Saat ini, perusahaan yang masih bertahan, 95% bahan bakunya impor," kata Hendri.
Tak ayal lagi, harga ikan lemuru terus naik. Jika dua tahun lalu harga ikan lemuru Rp 2.000-Rp 3.000 per kg, kini naik menjadi Rp 7.000 per kg.
Agus Suseno, Marketing PT Maya Food Industries membenarkan bahwa dua tahun belakangan ini bahan baku berupa ikan lemuru semakin sulit didapatkan. "Ini merupakan fenomena tersendiri, padahal dulu tidak ada impor ikan," kata Agus kepada KONTAN (19/10).
PT Maya Food Industries sendiri mulai mengimpor ikan lemuru sejak tahun 2010. Perusahaan mengimpornya dari China dengan volume 200 ton per bulan.
Harga sarden naik
Di sisi lain, ketergantungan pengusaha pada ikan impor juga harus berhadapan dengan pengetatan izin impor oleh pemerintah, "Kenyataannya ini menjadi beban dan birokrasinya berbelit-belit," terang Agus.
Masalah izin dan birokrasi ini menambah mahal biaya operasional. Ditambah dengan pasokan bahan baku yang berkurang dan harga ikan impor yang lebih mahal, akibatnya harga jual produk sarden pun melambung.
Kalau sebelumnya PT Maya Food Industries menjual produknya dengan harga US$ 4 per karton, sekarang harganya naik menjadi US$ 12 per ton.
Akibatnya, tidak semua buyer mampu membeli sarden dari PT Maya Food Industries. Agus mengungkapkan, dahulu Malaysia sering mengimpor sarden produksinya.
Namun, sejak harga melambung, pengiriman dihentikan. "Kalau untuk kalangan Asia Pasifik, harganya tidak cocok," tuturnya. Alhasil, ekspor perusahaan kebanyakan ke wilayah Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan. Selain itu, Maya Food juga menggeser penjualan ikan sarden ke pasar lokal.
Tak hanya Maya Food yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jumlah perusahaan pengolahan ikan ternyata makin berkurang. Hendri mencontohkan, dari 31 perusahaan pengolahan ikan yang ada di Indonesia, kini yang mampu bertahan hanya setengahnya.
Untuk mengatasi persoalan itu, Hendri berharap pemerintah melonggarkan impor bahan baku karena pasokan dalam negeri tidak ada.
"Diperlukan adanya hak pengolahan," katanya. Ia pun meminta proses perizinan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipercepat, menjadi tidak lebih dari 1 minggu.
Menanggapi permasalahan tersebut, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Victor Nikijuluw mengatakan, KKP akan membantu ketersediaan bahan baku. "Kalau mesti impor, kita akan dukung sehingga harga bahan baku menjadi lebih murah," ujar Victor kepada KONTAN (19/10).
Ia juga menjanjikan akan mempercepat proses mendapatkan izin impor. "Maksimal 10 hari proses sudah selesai," janjinya. Dengan begitu, pengusaha akan lebih mudah memperoleh bahan baku. KKP menargetkan, produksi perusahaan pengolahan ikan tahun ini akan meningkat menjadi 5 ton tahun ini, dari 4 juta ton tahun lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News