Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan pengembangan lahan jagung yang jauh dari pusat industri, menjadi sumber masalah pangan dan pakan nasional, baik bagi petani, maupun kalangan industri. Akibatnya, hasil panen petani tak mampu diserap pasar secara luas.
Kebijakan ekspor jagung oleh Kementerian Pertanian (Kemtan) ke Filipina, karenanya, menjadi pertanyaan. Bukan hal yang patut dibanggakan. Apalagi, hingga saat ini pun kebutuhan dalam negeri untuk jagung masih mengalami defisit.
“Jadi, sebenarnya tidak tepat satu klaim yang lalu seolah jagung sudah surplus, lalu kita ekspor. Nggak. Ekspor jagung itu sudah hal yang sangat rutin,” tutur Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Dwi Andreas, dalam keterangannya Senin (20/8).
Dwi menjelaskan, ekspor tersebut bahkan sudah terjadi belasan tahun lalu dan biasa dilakukan ketika harga pasar jagung domestik sudah terjun ke bawah US$200 per ton. Rata-rata tiap tahunnya Indonesia terbiasa mengekspor jagung di kisaran angka 50 ribu ton. Tetapi, menurutnya pilihan ekspor saat ini, bukanlah hal tepat,
“Bagaimana bisa harga jagung di Indonesia di atas Rp4 ribu per kilogram, lalu kita mengekspor di mana harga jagung internasional hanya US$210 per ton. Terus logikanya di mana?” ujarnya mempertanyakan.
Kemudian, distribusi dalam negeri yang sulit juga berekses kepada pilihan ekspor para petani jagung yang sudah berlangsung ketika Fadel Muhammad masih menjabat sebagai Gubernur Gorontalo.
Asal tahu saja, Gorontalo selama ini menjadi daerah sentra produksi jagung nasional. Ekspor jagung ke Filipina yang sebelumnya dibanggakan Menteri pertanian Amran Sulaiman, juga dihasilkan dari kebun-kebun jagung di Gorontalo.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, total produksi jagung di Indonesia per 2015 berada di angka 19,61 juta ton. Sebanyak 54,12% atau sekitar 10,61 juta tonnya diproduksi di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di berbagai pulau lain.
Hampir 40% sentra produksi jagung berada di luar Pulau Jawa. Sementara itu, mayoritas konsumen jagung yang merupakan perusahaan pakan ternak berada di Pulau Jawa. Lebih jauh, persoalan lemahnya distribusi justru menciptakan efek domino pada tidak meratanya harga jagung yang kemudian berimbas pada kenaikan harga pakan ternak, kenaikan harga telur maupun ayam ras akhir-akhir ini.
“Karena pabrik pakan ternak itu sekitar 69% ada di Pulau Jawa. Sehingga jagung-jagung yang luar Jawa, ini agak kesulitan juga terserap di industri pakan ternak yang ada di Jawa,” ujar Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini
Dwi melanjutkan, distribusi makin menjadi persoalan karena pola pengembangan jagung yang dilakukan Kementerian Pertanian diarahkan di luar Pulau Jawa. Sebenarnya ini dapat dimaklumi, mengingat lahan di Pulau Jawa memang sudah sangat terbatas dan cenderung digunakan untuk penanaman padi.
Sebagai gambaran terdapat 10 sentra jagung di Indonesia di mana hanya tiga di antaranya yang berada di Pulau Jawa. Kesepuluh sentra jagung tersebut, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, NTB, Gorontalo, NTT, dan Sumatra Barat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News