Reporter: Rashif Usman | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pebisnis minuman ringan mengeluhkan rencana pemerintah yang akan menerapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di tahun 2024. Pasalnya, rencana ini dinilai merugikan para pebisnis minuman ringan yang berdampak pada turunnya volume penjualan.
Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) menyatakan, cukai MBDK bisa menjadi penghambat bagi kinerja para pebisnis. Pasalnya, cukai tersebut akan berdampak pada kenaikan harga produk dan volume penjualan ikut menurun.
"Sangat mungkin menjadi penghambat, karena cukai menyebabkan kenaikan harga produk dan pastinya akan menurunkan volume penjualan," kata Ketua Umum Asrim, Triyono Prijosoesilo kepada Kontan, Senin (5/2).
Triyono menegaskan, saat ini industri minuman tengah berjuang untuk bisa rebound dari kondisi Covid-19. Sebagai gambaran, ia mengungkapkan pada periode 2019-2022 volume penjualan MBDK sebesar 0% alias flat. Kemudian, hingga pertengahan tahun 2023 lalu, volume pertumbuhan penjualan justru minus.
"Kalau cukai MBDK diimplementasikan tahun ini, maka industri tidak mendapatkan kesempatan untuk rebound, justru yang terjadi malah semakin terpuruk," ujarnya.
Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Berlaku Tahun Ini, Cek Rekomendasi Analis
Triyono belum bisa memprediksi berapa turunnya volume penjualan, karena masih tergantung dari berapa nilai cukai yang akan ditetapkan.
"Tetapi kami meyakini bahwa kalau cukai di terapkan, maka tahun 2024 ini pertumbuhan akan kembali minus," ucapnya.
Penerapan Cukai Tak Relevan
Triyono menilai, cukai MBDK tak relevan dengan tujuan pemerintah yang ingin mengendalikan risiko penyakit tidak menular (PTM). Maka itu, ia melihat belum ada urgensi soal penerapan cukai itu.
"Cukai MBDK digadang-gadang sebagai solusi untuk mengelola risiko PTM, termasuk obesitas dan diabetes di Indonesia. Namun, kita semua memahami bahwa PTM itu penyebabnya banyak faktor, terutama gaya hidup yang mencakup pola konsumsi, aktivitas fisik, genetik dan lainnya," tuturnya.
Triyono mengutip riset Institut Pertanian Bogor (IPB) 2019 yang memperlihatkan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia didominasi oleh makanan dan minuman (mamin) non olahan sebesar 70%.
"Sementara mamin olahan hanya sebesar 30%, di mana MBDK hanya bagian dari mamin olahan," jelasnya.
Triyono juga mengutip Data Total Diet Study Kemenkes 2014 yang menunjukkan secara kontribusi kalori, produk dari minuman olahan dan non olahan hanya berkontribusi sebesar 10% dari total mamin yang di konsumsi.
"Kalau ditelusuri lebih lanjut, dari 10% kontribusi mamin, porsi MBDK hanya sebesar kurang lebih 2%-3% dari total kalori yang dikonsumsi," jelasnya.
Oleh karenanya, Triyono menilai kebijakan cukai MBDK tidak akan efektif untuk menjawab permasalahan prevalensi PTM, termasuk menurunkan konsumsi kalori masyarakat.
Lebih lanjut, ia menyebutkan, jika pemerintah tetap menerapkan cukai tersebut sudah pasti industri minuman siap saji akan mengalami dampak negatif berupa penurunan kinerja penjualan.
Sementara, konsumen akan berpindah untuk mengonsumsi minuman-minuman manis yang non olahan seperti misalnya boba tea, kopi seduh dan lainnya.
"Harapan kami, pemerintah masih terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut dengan industri terkait rencana cukai ini dengan mempertimbangkan tujuan cukai itu sendiri dan seperti apa timing dan desain kebijakan yang komprehensif untuk mengelola risiko PTM bagi konsumen Indonesia," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News