Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi merger PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo pada 1 Oktober 2021 memicu transformasi di berbagai pelabuhan, termasuk Pelabuhan Sorong yang kini menjadi lebih efisien.
Zahlan, General Manager Pelindo Regional 4 Sorong mengungkapkan sejumlah data perbandingan antara kinerja sebelum dan sesudah Pelindo merger. Waktu singgah kapal (port stay) turun dari 72 jam pada saat sebelum merger menjadi maksimal hanya 24 jam.
"Bahkan, rata-rata port stay pada Januari-September 2023 tercapai hanya 10,84 jam dibandingkan 24,37 jam pada periode yang sama tahun sebelumnya," ujar dia dalam siaran pers, Selasa (28/11).
Produktivitas bongkar-muat di Pelabuhan Sorong juga naik dari 17 Box per Ship per Hour (BSH) menjadi 30,34 BSH. Selaras dengan itu, produktivitas penanganan crane juga naik dari 8 Box Crane per Hour (BCH) menjadi 22 BCH. Hal ini membuat jumlah kapal yang dilayani juga bertambah.
Lebih lanjut, pada Januari-September 2023, Sorong melayani 97 kapal, naik 11 kapal dibandingkan periode yang sama pada 2022 sebanyak 86 kapal.
Baca Juga: Investor Asing Minati Pelabuhan di Indonesia
Tercatat bahwa jumlah peti kemas yang dibongkar-muat di Terminal Peti Kemas (TPK) Sorong juga meningkat 14% dari 31.744 Twenty Foot Equivalent Unit (TEUs) pada Januari-September 2022 menjadi 36.178 TEUs pada Januari-September 2023.
Peningkatan kinerja ini merupakan hasil transformasi Pelindo selama dua tahun ini. Salah satu tonggak penting adalah perubahan waktu operasional pelabuhan dan TPK Sorong menjadi 24 jam kali tujuh hari dari sebelumnya enam hari kerja.
"Di Sorong yang mayoritas penduduknya umat Kristiani, hari Minggu merupakan waktu ibadah, sehingga proses untuk menuju waktu operasional 24x7 itu tidaklah mudah,” ungkap Zahlan.
Zahlan menjelaskan, Pelindo secara maraton mendiskusikan rencana operasional 24x7 dengan Kantor Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) Sorong, kalangan tenaga kerja bongkar muat (TKBM), para pengguna jasa kepelabuhan dan bisnis logistik, gereja, serta Pemerintah Kota Sorong dan DPRD Sorong.
Untuk bisa beroperasi 24 jam dalam seminggu, pekerja Pelindo dan tenaga kerja di lingkungan Pelabuhan dan TPK Sorong dibagi dalam kelompok-kelompok, sehingga mereka bisa bekerja tanpa meninggalkan kewajiban beribadah.
Salah satu perusahaan pelayaran, Tanto Intim Line, terkejut sekaligus mengapresiasi perubahan yang cukup signifikan di Sorong dan beberapa pelabuhan lain di Indonesia Timur.
Baca Juga: Geber Realisasi Impor Beras, Pelindo Sediakan Layanan Operasional Nonstop
Direktur Tanto Intim Line Steven Handoyo mengaku, sebelum Pelindo bertransformasi, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya beroperasi sejak pukul 6 pagi, namun Pelabuhan Sorong baru buka pukul 9, kemudian istirahat pukul 13 siang dan baru buka lagi sejam kemudian. "Sekarang ada standar, semuanya 24 jam,” kata dia.
Respons dan penanganan atas keluhan klien di Pelabuhan Sorong kini juga berlangsung cepat. Sekarang, klien bisa langsung menghubungi PT Subholding Pelindo Terminal Petikemas (SPTP) begitu ada persoalan di area pelabuhan. SPTP sendiri adalah anak usaha Pelindo di bidang pengelolaan terminal peti kemas.
Kecepatan pelayanan ini akhirnya mempengaruhi biaya-biaya yang harus ditanggung perusahaan pelayaran dan pemilik barang. Sebagai contoh, biaya bahan bakar jauh berkurang karena waktu sandar berkurang dari 2-3 hari menjadi hanya sehari.
Steven Handoyo mengungkapkan, biaya sewa kapal dengan panjang sekitar 150 meter dan kapasitas angkut 700-an TEUs berada di kisaran US$ 4.000 per hari. Apabila waktu perjalanan berkurang 3-4 hari, maka biaya sewa kapal paling tidak bisa dihemat sekitar US$ 12.000 atau Rp180 juta. “Penurunan ini banyak membantu karena sewa kapal ini juga terkait dengan pinjaman bank," imbuh dia.
Selain biaya bahan bakar, ongkos pengadaan air, dan makan anak buah kapal (ABK) juga berkurang.
Hanya saja, kata Steven, ada masalah lain yang belum terpecahkan hingga saat ini, yakni ketimpangan antara muatan yang diangkut ke Papua dan barang yang dimuat dari sana. Sebagai contoh, Tanto Intim Line dalam setahun mengangkut sekitar 23.000 TEUs ke Papua. Namun, ketika kembali dari Papua, Tanto Intim Line hanya membawa angkutan sebanyak 5.000 TEUs.
Lantas, pemerintah diharapkan terus membangun industri di kawasan Indonesia timur untuk merangsang permintaan jasa logistik, sehingga ujung-ujungnya biaya logistik nasional bisa terpangkas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News