kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pelaku industri hilir kelapa sawit dukung pemerintah lanjutkan pungutan ekspor


Senin, 24 Mei 2021 / 11:37 WIB
Pelaku industri hilir kelapa sawit dukung pemerintah lanjutkan pungutan ekspor
Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI)


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

Di pasar global, selisih harga antara CPO dengan soya oil mencapai US$ 400 per ton. Menurut Sahat, besarnya selisih ini akan membuat negara konsumen minyak nabati untuk mencari nabati murah. Satu-satunya minyak yang terjangkau harganya adalah sawit. 

Di level  harga rendah inilah yang menjadikan negara-negara sub-tropis penghasil soft oils berusaha untuk mendiskreditkan minyak sawit dari pasar dengan berbagai kampanye negatif akan sawit. 

Sementara itu, rerata harga minyak bumi US$ 37,2 per barel di periode yang sama tahun 2020 ,  kini harga minyak bumi bertengger di US$ 67 per barel. Kenaikan harga minyak bumi ini juga memiliki  relevansi dengan tingginya harga sawit.

“Jika dikatakan dengan pola pungutan  yang sekarang  memberi keuntungan bagi negara penghasil sawit lainnya. Kelihatannya ditiupkan oleh perusahaan kebun sawit asing yang ada di Indonesia. Lalu dikaitkan harga TBS sawit akan  menurun, sebenarnya itu dipersepsikan. 

Faktanya dengan kenaikan tarif pungutan ikut mendongkrak harga TBS petani, dan sebaliknya di tahun 2019 tidak ada pungutan sama-sekali  harga TBS petani mangkrak di level Rp 700 -850/kg,” jelasnya. 

Kebijakan tarif pungutan sudah tepat di tengah kondisi sekarang. Komposisi ekspor yang dominan hilir, dikatakan Sahat, menunjukkan tarif pungutan sangat efektif. Dampak positifnya mendongkrak harga TBS petani.

“Indonesia tidak lagi ekspor CPO di mana nilai tambahnya rendah. Skema tarif pungutan sekarang sebaiknya dipertahankan. Sebab, petani sedang menikmati tingginya harga TBS. Konsistensi pemerintah sangat dibutuhkan pelaku industri sawit dalam negeri. Kami mendapatkan insentif untuk mengekspor produk hilir sawit bernilai tambah tinggi dan sekaligus mulai  mampu bangkit untuk merebut pasar  IHKS di pasar global ,” ujarnya.

Baca Juga: Turunkan bea masuk sawit, Gimni proyeksi ekspor CPO ke India naik 4% di 2020

Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengakui petani sangat menikmati tingginya harga TBS sawit di 22 provinsi yang menjadi sentra sawit. Harga TBS membuat petani dapat belanja dan memenuhi kebutuhan mereka. Otomatis, pengeluaran para petani sawit inilah yang menggerakkan perekonomian daerah.

“Riau, Sumatra Utara, dan Kalimantan Barat menjadi contoh bagusnya nilai tukar petani. Alhasil, perekonomian daerah ikut bergerak,” kata Gulat. 
Gulat sepakat tarif pungutan ekspor (PE) sawit sekarang ini tidak perlu diubah. Jangan tergoda dengan pendapat bahwa pungutan merugikan petani. 

Atau ada pendapat pungutan menurunkan eksport CPO. Dengan adanya pungutan, pengusaha CPO sudah berpikir untuk hilirisasi dalam negeri karena tarif pungutan untuk ekspor produk hilir dari CPO jauh lebih rendah.

Artinya, industri hilir di dalam negeri dapat tumbuh sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat.  Kenaikan harga CPO dunia berdampak positif terhadap harga TBS. 

Ia mengakui serapan sawit di dalam negeri menjadi kunci stabilnya harga TBS. Instrumen penyerapan sawit ini adalah kebijakan mandatori biodiesel.”Dengan adanya pemakaian sawit di dalam negeri, pabrik sawit beroperasi 24 jam. Tidak ada lagi alasan tanki penyimpan penuh. Karena serapan sawit sangat tinggi,” pungkas Gulat Manurung.

Selanjutnya: BPDPKS proyeksi produksi CPO tahun ini mencapai 52,3 juta ton

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×