Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tak kunjung merilis paket kebijakan peraturan pemerintah (PP) terkait izin pertambangan batubara dan penerimaan negara dari sektor usaha komoditas batubara.
Salah satu poin penting yang dibahas dalam revisi PP Nomor 23 Tahun 2010 itu perihal pembatasan wilayah tambang yang tak lebih dari 15.000 hektare (ha). Yang mana hal ini bisa mengurangi kontribusi penerimaan negara dari sektor pertambangan.
Mengenai hal tersebut Head of Corporate Communication PT Indika Energy Tbk (INDY, anggota indeks Kompas100 ini) Leonardus Herwindo menyampaikan, pihaknya yakin pemerintah memiliki pertimbangan serta akan mengambil keputusan terbaik untuk mengoptimalkan kontribusi bagi penerimaan negara, pengelolaan lingkungan, dan konservasi energi.
“Kalau sudah adanya kepastian dan kejelasan tentang peraturan dan tata cara pelaksanaan yang baru nanti, kami baru akan dapat menentukan langkah selanjutnya,” ujarnya pada Kontan, Selasa (2/7).
Selanjutnya, ia berharap agar pembahasan yang ada dapat segera diputuskan lantaran hal ini penting untuk memberikan kepastian usaha dan kelancaran kegiatan operasional INDY, serta untuk meningkatkan iklim investasi di tanah air.
Sembari menunggu revisi peraturan itu rampung, INDY kini fokus mengoptimalkan kegiatan operasional. Leo menyebut saat ini dalam Rencana Kerja Seluruh Wilayah Pertambangan Kideco memiliki luas lebih dari 15.000 ha. Pada tahun ini, INDY membidik produksi sebesar 34 juta ton.
Sementara itu, Direktur dan Sekretaris PT Bumi Resources Tbk Dileep Srivastava enggan berkomentar banyak mengenai hal ini.
Pastinya emiten berkode saham BUMI ini terus menunggu keputusan resmi dari pemerintah terkait perubahan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Kami masih menunggu keputusan resminya,” ungkapnya. Sebagai informasi pada tahun ini memasang target produksi sebesar 94 juta ton batubara.
Adapun pemegang PKP2B generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam beberapa tahun ke depan adalah PT Arutmin Indonesia yang (1 November 2020), PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berharap, revisi peraturan itu segera terbit sehingga memberikan kepastian bagi pelaku usaha.
Terlebih pemegang PKP2B generasi pertama memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pendapatan negara. “Produksi dari mereka separuh produksi nasional, sebagian besar dari pemegang PKP2B generasi pertama,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pemerintah tentu mempertimbangkan terkait penerimaan negara, selain penyediaan pasokan untuk PLN juga banyak dipenuhi oleh pemegang PKP2B generasi pertama guna memberikan jaminan ketahanan energi.
Menurutnya berlarut-larutnya revisi peraturan ini akan mengganggu rencana kepastian jangka panjang pemegang PKP2B. “Apabila mau melanjutkan investasi perusahaan ini butuh waktu untuk mengupayakan pendanaannya, bagaimana marketnya, sehingga kepastian jangka panjang jadi dalam ketidakpastian,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News