Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha industri farmasi dan jamu menyoroti ketentuan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang tertuang pada draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan (POM) pada acara Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI Komisi IX pada Senin (28/9).
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), Dorojatun Sanusi menilai, ketentuan sanksi administrasi dan pidana yang dimuat dalam draft RUU POM cenderung tidak proporsional dan berlebihan.
Ia khawatir, penerapan undang-undang yang terlalu ketat justru berpotensi menghasilkan dampak negatif sampingan, yakni menghambat investasi yang masuk di sektor industri farmasi. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri, sebab nilai investasi di industri farmasi sendiri sebenarnya sudah terbilang rendah saat ini.
Menurut Dorojatun, alih-alih menerapkan sanksi yang berlebihan, Undang-Undang POM yang dirancang sebaiknya lebih menitikberatkan upaya pengembangan dan pembinaan bagi pelaku usaha farmasi.
“Selama ini kami melihat, terhadap pelanggaran yang terjadi, cukup dilakukan pembinaan dan bimbingan kepada industri farmasi dan distributor,” kata Dorojatun dalam RDPU dengan Komisi IX DPR RI, Senin (28/9).
Senada, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Jamu, Rusdiyanto juga mengatakan, pengawasan obat dan makanan sebaiknya lebih mengedepankan pembinaan terhadap pelaku usaha.
Baca Juga: Bisa bertahan dari sentimen PSBB Jakarta, saham consumer goods ini layak dilirik
Apabila hal ini tidak dilakukan, ia khawatir pengawasan yang ada justru malah melemahkan pelaku usaha. Hal ini terutama menjadi semakin relevan pada konteks pelaku usaha jamu. Ia menyebutkan, dari sekitar 1.200 pelaku usaha jamu anggota asosiasi yang ada, sekitar lebih dari 900 di antaranya merupakan pelaku industri kecil dan rumahan yang membutuhkan pembinaan dalam menjalankan kegiatan usahanya.
“Kalau ini pengawasannya lebih menitikberatkan masalah-masalah yang justru melemahkan para pengusaha jamu yang sudah lemah itu, maka ini akan merugikan kita,” ujar Rusdiyanto pada acara yang sama.
Hadir di acara yang sama, Direktur Utama PT Bio Farma, Honesti Basyir menyampaikan, penegakan hukum di bidang pengawasan obat dan makanan sebaiknya mendahulukan langkah preventif, sementara opsi pengenaan sanksi sebaiknya menjadi upaya terakhir yang ditempuh. “Sanksi pidana sebaiknya menjadi upaya terakhir atau ultimum remedium atas pelaksanaan pengawasan obat dan makanan,” kata Honesti.
Di lain pihak, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Obat Tradisional Asing (GAPOTA), Boedi Iliadi mengaku khawatir kewenangan terlalu besar yang diberikan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dapat membuat lembaga tersebut berlaku sewenang-wenang dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Oleh karenanya, demi meghindari adanya penyalahgunaan wewenang, ia mengusulkan agar pemerintah membentuk komisi yang bertugas untuk mengawasi kinerja BPOM seandainya draft RUU POM jadi disahkan menjadi undang-undang. “Kami mengusulkan adanya komisi pengawasan untuk BPOM sendiri, yaitu Komisi Dewan Pengawasan bagi BPOM,” tutur Boedi.
Baca Juga: Minim koreksi dan lebih defensif, saham emiten barang konsumsi masih jadi primadona
Sementara itu, perwakilan International Pharmaceutical Manufactures (IPMG), Fernando mengusulkan agar ketentuan sanksi yang dimuat dalam RUU POM diselaraskan dengan ketentuan sanksi serupa yang terdapat pada peraturan lainnya.
Dalam hal ini, ia mendapati bahwa bahwa ketentuan sanksi pidana yang tercantum pada beberapa pasal seperti Pasal 98 dan 99 RUU POM perlu diselaraskan dengan sanksi pidana yang termaktub pada Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, sebab keduanya memuat ketentuan sanksi pidana kurungan dan denda dengan besaran dan durasi yang berbeda untuk satu perbuatan hukum yang sama. Sayangnya, ia tidak merinci pasal-pasal Undang-Undang Kesehatan mana yang ia maksud.
“IPMG memandang perlu adanya penyelarasan pada sanksi-sanksi pidana,” kata Fernando.
Menanggapi masukan-masukan yang ada, Anggota DPR Komisi IX Fraksi Partai Golkar M. Yahya Zaini menyatakan dirinya setuju bahwa pembinaan perlu dikedepankan dalam pelaksanaan pengawasan obat dan makanan. Meski begitu, hal ini tidak berarti bahwa sanksi pidana bisa dikesampingkan.
Menurutnya, baik pembinaan maupun penegakan hukum melalui sanksi perlu berjalan beriringan. “Yang kita lindungi adalah rakyat, yang kita lindungi itu adalah konsumen, kalau hanya pembinaan pengembnagan saja tanpa ada sanksi pasti pengawasannya tidak akan efektif,” ujar Yahya.
Selanjutnya: Permintaan Melonjak, Pebisnis Farmasi Bersaing Ketat di Produk Suplemen Kesehatan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News