kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.904.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.280   0,00   0,00%
  • IDX 7.113   44,39   0,63%
  • KOMPAS100 1.038   7,95   0,77%
  • LQ45 802   5,08   0,64%
  • ISSI 229   1,99   0,87%
  • IDX30 417   1,49   0,36%
  • IDXHIDIV20 489   1,52   0,31%
  • IDX80 117   0,66   0,57%
  • IDXV30 119   -0,75   -0,63%
  • IDXQ30 135   0,08   0,06%

Pelemahan Harga Minyak Dunia dan Daya Beli Jadi Momentum Penurunan Harga BBM


Senin, 09 Juni 2025 / 19:36 WIB
Pelemahan Harga Minyak Dunia dan Daya Beli Jadi Momentum Penurunan Harga BBM
ILUSTRASI. REUTERS/Pascal Rossignol. Harga minyak mentah Indonesia bulan April 2025 berda di level US$ 65,29 per barel, jauh di bawah asumsi dasar APBN 2025


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah dunia masih bergerak melandai. Harga minyak acuan West Texas Intermediate (WTI) sedang berada di level US$ 64 per barel, sementara brent bertengger di posisi US$ 66 per barel.

Dalam rilis terakhir, rata-rata harga minyak mentah Indonesia alias Indonesian Crude Price (ICP) bulan April 2025 berda di level US$ 65,29 per barel. Ketiga indikator harga minyak mentah tersebut jauh di bawah asumsi dasar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yang dipatok sebesar US$ 82 per barel.

Head of Center Food, Energy & Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P. G. Talattov menjelaskan gerak harga minyak mentah dunia yang melandai terutama disebabkan oleh sentimen perlambatan pertumbuhan ekonomi. Apalagi dengan adanya kebijakan perang tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Efek dari perang tarif Trump menekan sektor industri manufaktur, yang berdampak terhadap penurunan permintaan energi. Di sisi lain, Abra menyitir informasi yang menyebutkan bahwa Donald Trump memiliki intensi untuk melakukan kontrol, supaya harga minyak mentah bisa bergerak pada level US$ 50 per barel.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Turun, Ada Potensi Penurunan Harga BBM Subsidi dan Non Subsidi

Hal itu dimaksudkan untuk menekan tingkat inflasi dan mendorong pemulihan ekonomi di AS. Dari sisi pasokan, meski permintaan masih tertekan, tapi sejumlah negara produsen minyak masih cenderung mengerek produksi untuk menjaga tingkat keuntungannya.

"Ini yang mendorong kemungkinan sepanjang 2025 ini harga minyak mentah dalam proyeksi saya berada di rentang US$ 55 - US$ 65 per barel. Cukup jauh dibandingkan dengan asumsi APBN," kata Abra saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (9/6).

Ekonom KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana turut memperkirakan penurunan permintaan minyak dunia masih akan berlanjut. Pada saat yang sama, pasokan minyak dari negara-negara produsen atau OPEC+ justru berpotensi naik.

Dalam situasi ini, harga minyak dunia bisa turun lebih dalam. Apalagi, jika kebijakan tarif Donald Trump sudah resmi diberlakukan. Fikri memprediksi, harga minyak mentah dunia masih bisa bertahan di atas level US$ 60 per barel pada semester I-2025.

Namun, jika belum ada perbaikan sentimen, harga minyak mentah dunia berpotensi menyentuh US$ 50 bahkan mendekati level US$ 40 per barel pada kuartal ketiga atau awal kuartal IV-2025. Dengan asumsi tersebut, Fikri melihat ada ruang penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, apalagi dengan adanya penguatan nilai tukar rupiah.

Fikri mengestimasikan potensi penurunan harga pada bulan Juli bisa mencapai 5%-10% untuk BBM non-subsidi, yang lebih mudah menyesuaikan harga minyak mentah global. Sedangkan untuk BBM subsidi masih ada faktor pertimbangan pemerintah.

"Dengan kondisi sekarang seharusnya akan ada penurunan harga minyak di dalam negeri, ditambah dengan apresiasi rupiah, sehingga mungkin ada penyesuaian antara 5%-10% yang non-subsidi," jelas Fikri.

Momentum Penurunan Harga

Abra menambahkan, kondisi eksternal dan domestik saat ini menjadi momentum untuk menurunkan harga BBM, termasuk jenis BBM subsidi atau Pertalite. Penurunan harga BBM bisa melengkapi kucuran stimulus ekonomi dari pemerintah, sehingga bisa memberikan dorongan tambahan di tengah tekanan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat.

"Semestinya pemerintah cukup percaya diri untuk melakukan penyesuaian (harga Pertalite), karena paling tidak sampai akhir tahun ini risiko terjadinya kenaikan harga minyak mentah melebihi level asumsi APBN masih jauh. Jadi bisa sesegera mungkin melakukan penyesuaian harga," kata Abra.

Hanya saja, Abra memberikan catatan bahwa penurunan harga Pertalite mesti dibarengi dengan pembenahan subsidi BBM agar tepat sasaran. Menurut Abra, belum cukup untuk melakukan pembatasan melalui QR-Code. Transformasi penyaluran subsidi mesti tepat sasaran dengan skema by name, by address.

Hal ini penting untuk mengontrol beban subsidi atau kompensasi yang mesti ditanggung pemerintah agar tidak membengkak. "Saya pikir ini momentum untuk segera mengeksekusi transformasi subsidi BBM. Harus diperjelas kriteria masyarakat yang berhak, agar tepat sasaran dan beban subsidi terkontrol," tegas Abra.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif  Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara sepakat bahwa kondisi saat ini menjadi momentum menurunkan harga Pertalite. Dengan posisi harga minyak dunia yang sudah bergerak di level US$ 60 - US$ 64 per barel, maka ada selisih yang sangat lebar sampai dengan US$ 22 per barel dari asumsi APBN 2025.

"Realisasi subsidi BBM harusnya ikut turun. Jadi kurang fair jika harga BBM non-subsidi turun, sementara Pertalite belum ikut turun juga. Kalau harga turun karena sebagian besar pengguna kendaraan masih pakai BBM, imbasnya ke disposable income-nya bisa naik, bisa dibelanjakan untuk kebutuhan lain," kata Bhima. 

Catatan Bhima, pelemahan harga minyak mentah dunia bakal membawa dampak yang bervariasi pada sejumlah sektor industri. Dia mencontohkan sektor dengan bahan baku berbasis minyak seperti petrokimia akan terpapar sentimen positif karena terjadi penurunan biaya produksi.

Namun, penurunan harga minyak dan komoditas energi fosil lain bisa menambah tantangan bagi transisi energi. Sebab, penurunan harga komoditas energi fosil akan membuat keekonomian atau harga energi terbarukan semakin sulit bersaing.

Baca Juga: Ekonom Perkirakan Deflasi pada Mei 2025, Didorong Penurunan Harga Pangan dan BBM

Selanjutnya: Transaksi ATM Makin Sepi, Masyarakat Beralih Gunakan Platform Digital Non-Tunai

Menarik Dibaca: Punya 3 Aset Ini, Robert Kiyosaki Bilang, Lebih Baik Dibanding Jadi Pecundang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×