Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan pasar yang berorientasi ekspor, industri mebel dan kerajinan kayu dinilai punya daya tahan yang baik kala pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS saat ini. Ditambah nilai plusnya, bahan baku industri ini mayoritas didapatkan dari lokal.
Abdul Sobur, Sekjend Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) mengatakan kandungan produk lokalnya bisa mencapai 80%. Tampaknya, industri tak masalah jika wacana pemerintah untuk membatasi importasi 500 jenis produk terealisasi.
Asal dengan catatan, yang dibatasi ialah produk jadi bukan produk jenis bahan pendukung yang tidak didapati di domestik. "Karena memang ada beberapa bahan yang belum bisa disubtitusi di dalam negeri," kata Abdul kepada Kontan.co.id, Minggu (26/8).
Sementara itu, ditengah kondisi pelemahan rupiah Industri mebel dan kerajinan kayu dinilai mendapatkan peluang. "Memang benar dari kondisi mebel ada keuntungan dengan pelemahan rupiah, yang beruntung para eksportir ini," sebut Abdul.
Tapi sayangnya, ia menambahkan, potensi yang ada saat ini tak didukung oleh kenaikan volume produksi, dikarena daya saing industri mebel nasional masih lemah dibanding negara lain.
"Salah satu yang mengurangi daya saing soal ada beberapa regulasi yang tak mendukung seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk industri hilir," urai Abdul.
Menurutnya dengan ada aturan SVLK, industri mebel berpotensi mendapatkan beban hingga Rp 200 miliar. Lebih lanjut ia mengatakan, Kementerian Perindustrian (Kemprin) sempat mengusulkan untuk memberikan subsidi terkait SVLK tersebut.
"Kalau menurut saya SVLK itu lebih baik dihapus saja, dan subsidi dialihkan ke pembelian mesin (ekspansi usaha), kalau dapat subsidi hingga 25% saja sudah luar biasa," ungkap Abdul. Menurutnya SVLK yang sudah diterapkan kepada industri hulu kayu tak perlu dibebani kepada pelaku industri hilir.
Sementara itu bagi produsen mebel kayu seperti, PT Intergra Indocabinet Tbk (WOOD) menjelaskan kandungan kayu pada mebelnya hampir sebagian besar berasal dari lokal. "Paling hanya kulit kayunya yang diimpor menyesuaikan pesanan buyer, karena kebetulan di lokal tidak ada," kata Wang Sutrisno, Direktur PT Intergra Indocabinet Tbk
Menurutnya 90% bahan baku mebel WOOD berasal dari lokal, hanya sisanya 10% yang diimpor. Sampai semester I 2018 kemarin bisnis perseroan naik ditunjang oleh harga produk kehutanan dan fluktuasi kurs.
Menurut Wang kenaikan harga log meranti misalnya sudah hampir dua kali lipat di tahun ini. "Kalau tahun lalu harga jualnya hanya Rp 1,7 juta per meter kubik sekarang sudah mencapai Rp 3 juta per meter kubik," urainya.
Selain itu di segmen manufaktur secara total, penjualan ekspor dan lokal WOOD tercatat senilai Rp 781 miliar di semester-I 2018 naik kurang dari 1% yoy dibandingkan tahun lalu.
"Biasanya semester I agak lamban, nanti di semester II bakal kencang karena pasar ekspor utama kami Amerika Serikat (AS) mulai musim liburan seperti Natal dan Tahun Baru," beber Wang.
Momen akhir tahun diprediksi pasar ekspor mebel akan dipenuhi permintaan. WOOD sampai saat ini menulangpunggungkan bisnisnya pada pasar ekspor tersebut, dengan kontribusinya bagi penjualan bersih hampir 75%.
Oleh karena orientasi ekspor tersebut, disamping melonjaknya segmen bisnis kehutanan, perseroan juga diuntungkan dengan penguatan dolar AS akhir-akhir ini. Menurut laporan keuangan semester-I 2018 itu, WOOD memperoleh laba dari selisih kurs sekitar Rp 5,4 miliar, naik hampir 3 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun kemarin Rp 1,9 miliar.
Berbekal keuntungan tersebut, meski pendapatan perseroan hanya naik 6,9% menjadi Rp 905 miliar di semester-I 2018 yoy, namun dari segi bottomline WOOD naik dobel digit. Laba bersih perseroan paruh pertama tahun ini tercatat sebesar Rp 113 miliar, tumbuh 25% yoy dibandingkan tahun lalu Rp 90 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News