Reporter: Muhammad Julian | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan pembangkit listrik berbasis sumber energi baru dan terbarukan (EBT) berpotensi meningkat. Setelah tahun 2025 nanti, pemerintah berencana tak lagi mengizinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Draft RUPTL 2021-2030 yang diperoleh Kontan.co.id menyebutkan, PLTU yang statusnya masih rencana setelah tahun 2025 akan diganti menjadi PLT Base.
Pembangkit ini akan diupayakan menggunakan mix EBT (Hidro, PLTP, PLTS, Bio, dll) dan Gas (PLTG/PLTMG/PLTGU berbahan bakar gas) setempat yang ada dengan nilai keekonomian yang dapat bersaing dengan PLTU dan dengan syarat bahwa pembangkit tersebut dapat dioperasikan secara kontinyu selama 24 jam sebagai pemikul beban dasar (dapat juga dilengkapi dengan energy storage). Demikian draft RUPTL menyebut.
Rencana ini mendapat sambutan positif dari sejumlah pemain EBT. Wakil Direktur Utama PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), Wilson Maknawi mengatakan, rencana pemerintah memacu pemanfaatan sumber EBT mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengakui pentingnya pemanfaatan EBT. Sebagai produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) berbasis EBT, KEEN sendiri siap dan berkomitmen menghasilkan listrik yang andal dari sumber terbarukan.
Baca Juga: Proyek PLTU bakal disetop mulai 2025, energi terbarukan digenjot
“Kencana Energi sudah memiliki beberapa proyek EBT yang siap untuk dikembangkan dan siap tahap power purchase agreement (PPA) dengan PLN, dari (sumber) hidro, bayu dan solar,” kata Wilson kepada Kontan.co.id (12/6).
Saat ini, KEEN memang tengah berencana kembali menggarap beberapa proyek EBT baru. Beberapa di antaranya yakni PLTA Kalaena Luwu Timur yang berkapasitas 75 MW, PLTA Salu Uro di Luwu Utara berkapasitas 90 MW, dan PLTA Pakkat 2 di Sumatra Utara dengan kapasitas 35 MW.
Pengerjaan konstruksi ketiga proyek ini belum dimulai dan masih menunggu PPA dengan pihak PLN. Wilson berharap, itikad pemerintah untuk memacu pemanfaatan EBT bisa dieksekusi dengan baik. “Yang lebih penting dan yang harus diperhatikan adalah tahap eksekusinya, dipermudahnya peraturan-peraturan yang mengatur proses pembangunan dan pemasaran listrik EBT, agar dapat lebih diterima pihak penjual dan pembeli listrik,” tutur Wilson.
Baca Juga: Ini jurus Menteri BUMN Erick Thohir bereskan utang PLN yang capai Rp 500 triliun
Direktur Utama PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY), Christopher Liawan mengatakan, rencana pemerintah memacu pemanfaatan EBT berpotensi memperbesar pasar/kebutuhan panel surya. “Peluang untuk prospek bisnis solar energy sangat cerah,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Sabtu (12/6).
Sebagai produsen panel surya, bisnis JSKY juga dipengaruhi oleh pengembangan PLTS. Christopher mencatat, produk JSKY sudah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan total kapasitas solar panel terpasang sebanyak lebih dari 50 megawatt peak (MWp) sejak tahun 2008 lalu.
Rencana pemerintah memacu pemanfaatan EBT sebagai sumber energi menambah optimisme JSKY dalam memacu bisnis penjualan panel suryanya. Selain itu, JSKY juga membuka opsi untuk menjajaki peluang pembangunan PLTS berkapasitas besar dengan skema PPA dengan PLN.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa berharap, para pelaku usaha PLTS bisa mengikuti lelang-lelang proyek kerja sama pembangkit listrik yang dibuka oleh PLN. Ia optimistis, potensi energi surya di Indonesia cukup besar untuk dimanfaatkan lebih jauh. “Saya harapkan PLN bisa punya rencana pelelangan yang lebih terstruktur, lebih reguler, jadi jelas gitu buat pelaku usaha berkaitan dengan ini, kapan PLN mau tender,” ujar Fabby saat dihubungi oleh Kontan.co.id, Minggu (13/6).
Baca Juga: RUPTL 2021-2030 wajibkan PLN investasi infrastruktur ekspor-impor solar panel rooftop
Menurut Fabby, PLTS memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber EBT lainnya untuk digarap. Dari segi waktu pelaksanaan pembangunan, pengerjaan 1 proyek PLTS berkapasitas 100-300 mw dari setelah PPA didapat hingga operasi komersial bisa memakan waktu kurang dari setahun atau paling lama 18 bulan. Sementara pengerjaan proyek pembangkit listrik berbasis sumber EBT lainnya bisa memakan waktu di atas dua tahun.
Di sisi lain, harga listrik yang dihasilkan PLTS per kwh juga bisa lebih murah dibandingkan harga dari sumber EBT lainnya. Dia mencatat, untuk saat ini harga listrik PLTS dalam kontrak-kontrak dengan PLN berada di bawah US$ 6 sen per kwh.
“Sementara kalau misalnya harga hidro, hidro kalau skala besar sekarang di kisaran US$ 8-10 sen per kwh, tergantung size. Kalau biomassa tergantung feedstock dan ukuran, tapi biomassa juga sekitar US$ 0,10-US$ 0,14 per kwh, panas bumi masih di atas US$ 0,10 per kwh,” papar Fabby.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Riza Husni memberi catatan perihal proses pengajuan PPA yang dinilainya cukup panjang, khususnya untuk proyek PLTMH skala kecil. “Saat ini harus melalui direktur regional, dari sana kalau bisa lolos masuk ke direktur mega proyek, setelah itu tunggu masuk RUPTL di direktorat perencanaan, baru DPT (daftar penyedia terseleksi) di PLN pusat, kemudian baru bisa PPA,” ungkap Riza.
Baca Juga: PLTU bakal disetop, harga listrik pembangkit EBT diyakini tak lagi jadi masalah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News