Reporter: Diemas Kresna Duta, Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Nasib mega proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah, berkapasitas 2x1.000 megawatt (MW) senilai Rp 36 triliun mulai menemui titik cerah. Agar cepat tuntas, pemerintah pusat telah membentuk tim koordinasi dan supervisi.
Seperti diketahui, proyek ini ditolak warga di lima Desa di Kabupaten Batang yang terkena proyek tersebut. Kelima Desa tersebut adalah Desa Karanggeneng, Roban, Ujung Negoro, Wonorekso, dan Ponowareng.
Maklum proyek ini akan memakan lahan seluas 370 hingga 700 hektare (ha). Dengan kebutuhan lahan seluas itu, bisa dipastikan PLTU ini akan melahap lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 ha, perkebunan melati seluas 20 ha, sawah tadah hujan seluas 152 ha, dan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) dari Ujungnegoro-Roban yang juga tempat pembiakan terumbu karang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan, tim koordinasi dan supervisi tersebut terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, dan kontraktor.
Nantinya tim tersebut bertugas mengawasi dan mengkoordinasikan segala bentuk kendala pembangunan PLTU."Baru saja diputuskan membentuk tim koordinasi dan supervisi. Nantinya kita bisa lihat progres pembangunan PLTU Batang," ungkap Hatta seusai menghadiri rapat koordinasi di Kantor Kementerian Perekonomian, Rabu, (9/1).
Hatta mengatakan, sejauh ini proyek PLTU Batang sedang menunggu keluarnya pinjaman bank atau financial closing pada Oktober mendatang. Selain itu, proyek ini juga sedang menunggu keluarnya izin akses dari pemerintah daerah.
Menurutnya, izin akses diperlukan guna memuluskan rencana pembangunan infrastruktur ke lokasi proyek. Ia berharap, keluarnya izin akses juga diikuti keluarnya izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengatakan, izin akses akan dikoordinasikan dengan Bupati Batang dalam dua bulan ke depan. Saat ini, Gubernur bersama Bupati Batang tengah mengevaluasi dan mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan.
Bibit memasang target, pembangunan atau groundbreaking PLTU Batang akan dimulai pada 13 Oktober 2013. Ini lantaran telah disepakatinya upaya koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, PLN serta kontraktor dalam pembangunan proyek tersebut.
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Nur Pamudji menjelaskan, nantinya listrik dari PLTU Batang akan masuk dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali. PLN akan membeli listrik tersebut dari PT Bimasena Power Indonesia (BPI) dengan harga US$ 5,71 sen per kilowatt-hour (kWh).
Nur Pamudji yakin, jika proyek ini berjalan mulus, diprediksi bisa beroperasi 2017 akhir. Seperti diketahui, BPI adalah bentukan konsorsium dari PT Adaro Energy Tbk, J-Power, dan Itochu.
Walhi Menolak Pembangunan PLTU Batang
embangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah, mendapat kecaman keras dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Kepala Departemen Advokasi dan kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati mengungkapkan, proyek PLTU Batang berkapasitas 2x1.000 megawatt (MW) merupakan proyek pembangkit listrik terbesar se Asia Tenggara. Sehingga pemerintah dan pemerintah daerah mesti memperhatikan dampak lingkungan yang akan terjadi.
Menurutnya, proyek pembangkit ini lebih banyak merugikan warga sekitar ketimbang manfaatnya. "Kontraktor dan PLN selalu bilang ini untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Tapi kenyataannya tidak begitu, masih banyak daerah pelosok di Jawa ini yang belum teraliri listrik. Kalau mau bangun PLTU jangan di daerah yang sudah teraliri listrik, bangun di daerah terpencil," kata dia.
Hidayati mengatakan, penolakan warga tentunya sangat beralasan. Sebab banyak hal yang akan berubah, misalnya tingginya emisi yang dihasilkan uap PLTU tersebut, pembakaran batubara yang kemudian menjadi uap dan menghasilkan air buangan sudah pasti akan dialirkan ke laut. Dampaknya, pasti laut akan tercemar. "Nelayan tidak akan untung, sebab laut tercemar, ikan-ikan pasti mati," kata dia.
Belum lagi soal dampak pengangkutan batubara yang melewati rumah penduduk. Debu batubara dipastikan akan membuat banyak penyakit pernafasan serta tanaman padi mati akibat debu batubara. "Ini karena pemerintah tidak konsisten. Katanya mau mengurangi emisi, tapi malah membangun PLTU sebesar ini," ungkap dia.
Dia menegaskan, di Jawa ini sudah sangat padat dengan jumlah penduduk dan industri, sehingga tidak perlu lagi membangun pembangkit listrik. "Sudah banyak kerugian yang diterima warga," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News