Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana larangan ekspor bauksit dan timah masih bergulir. Dalam acara Road to G20: Investment Forum bertajuk “Mendorong Percepatan Investasi Berkelanjutan dan Inklusif” Rabu (18/5) lalu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah berencana melarang ekspor bauksit dan timah pada tahun 2022 ini.
Bahlil berujar, larangan tersebut merupakan interpretasi arahan dari Presiden RI Joko Widodo untuk membangun hilirisasi dan industri berbasis energi baru terbarukan dan ramah lingkungan. “Di 2022 (ekspor) bauksit akan kita setop dan di 2022 akhir kita juga akan setop ekspor timah,” tegas Bahlil (18/5).
Bahlil optimistis, pemberlakuan larangan ekspor akan mendorong terjadinya terjadinya hilirisasi dan peningkatan nilai tambah. Dampak positif lainnya, pelarangan ekspor komoditas tambang dan mineral juga diyakini Bahlil mampu memberi dampak positif terhadap neraca perdagangan, salah satunya dengan negara China.
“Sekarang defisit neraca perdagangan dengan China tidak lebih dari US$ 2 miliar. Di 2022 pasti akan terjadi surplus neraca perdagangan China, ini kontribusi kita dari hilirisasi nikel,” tutur Bahlil.
Baca Juga: MIND ID Batal Tender Offer untuk Refinancing, Lantas Nasib Utang Akuisisi Freeport?
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengatakan, IMA mendukung penuh kebijakan larangan ekspor yang diwacanakan pemerintah.
“IMA mendukung penuh kebijakan ini karana Industri yang akan dikembangkan menurut RIPIN (Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional) adalah industri yang memakai hasil hilirisasi komoditas tambang, yang bertujuan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan Negara,” terang Djoko kepada Kontan.co.id (19/5).
Senada dengan Bahlil, Djoko berpandangan bahwa kebijakan larangan ekspor ini bisa meningkatkan kemandirian RI dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri serta mengurangi ketergantungan impor. Dengan begitu, RI bisa mengurangi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Djoko menegaskan, pihaknya bakal menaati regulasi dan memacu hilirisasi agar peningkatan pendapatan negara dapat terlaksana. Harapan IMA, industri pengguna yang nantinya akan menyerap hasil hilirisasi bauksit dan timah bisa tumbuh.
“Aspirasi anggota IMA, (anggota IMA) menghendaki tumbuhnya industri dasar yang menjadi offtaker hasil hilirisasi bauksit dan timah,” tutur Djoko.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menilai, kebijakan larangan ekspor bauksit dan timah sebaiknya dibarengi dengan pelaksanaan pembangunan industri hilir atau industri lanjutan di dalam negeri.
Dengan begitu, produk antara atau intermediate product yang dihasilkan dari pengolahan dan pemurnian dari penambangan bauksit dan timah bisa diserap oleh industri lanjutan tersebut. “Pemerintah harus memetakan industri apa yang harus dikembangkan lebih lanjut agar nilai tambah di dalam negeri bisa ditingkatkan lagi,” tutur Rizal saat dihubungi Kontan.co.id (19/5).
Rizal mencontohkan, untuk timah misalnya, pemerintah dapat memacu pengembangan industri forming yang merupakan turunan dari pengolahan dan pemurnian timah seperti misalnya tin slab, plate, sheet, kawat solder, rod, dan lain-lain.
Outputnya kemudian bisa digunakan untuk mendukung industri manufaktur guna menghasilkan produk jadi seperti komponen elektronik, komponen kendaraan otomotif, dan kebutuhan rumah tangga dan industri lainnya.
Sementara itu, untuk industri turunan bauksit, pemerintah bisa memacu pengembangan industri aluminium dalam bentuk forming dan finished goods seperti industri aluminium slab, plate, sheet/strip, foil, flat bar, square bar, tube dan wire rod, dll. Nantinya, output dari industri-industri tersebut untuk menghasilkan berbagai produk dan barang jadi seperti komponen dan lain-lain.
Dalam mengembangkan industri lanjutan, pemerintah, menurut Rizal, bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi terbangunnya industri lanjutan. Hal ini menurut Rizal bisa dilakukan misalnya dengan insentif baik fiskal maupun non-fiskal agar investasi lebih menarik.
Baca Juga: Harga Komoditas Melambung, Emiten Tambang Logam Kompak Bukukan Lonjakan Laba
Khusus industri tertentu yang kurang menarik bagi investor, pemerintah dapat menunjuk atau membentuk BUMN khusus agar dapat mengembangkan suatu industri turunan agar dapat dibangun di Indonesia. BUMN khusus tersebut, menurut Rizal, dapat berfungsi sebagai industri pioneer untuk menciptakan industri lainnya sebagai industri hilir.
Di saat yang sama, pemerintah menurut Rizal juga perlu menghilangkan hambatan-hambatan administrasi terutama untuk perizinan agar tidak menghambat penyelesaian pembangunan pabrik pengolahan di dalam negeri.
“Tata niaga nikel dan bauksit juga sebaiknya dikelola lebih baik lagi. Tata niaga yang mempertimbangkan keadilan berusaha diantara pelaku usaha, tidak melakukan praktek monopoli, aturan yang jelas dan tegas, penetapan HPM yang mempertimbangkan market, dapat membuat bisnis pertambangan nikel dan bauksit lebih bergairah,” imbuh Rizal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News