Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Setelah aturan Daftar Negatif Investasi (DNI) diteken oleh Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) nanti, Kementerian Perhubungan akan segera menawarkan proyek pembangunan bandar udara (Bandara) ke calon investor asing.
Aturan DNI sendiri yang merupakan revisi atas Peraturan Presiden (Perpres) No.36 tahun 2010, saat ini baru rampung dibahas pada tingkat menteri.
Menurut Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, ada beberapa proyek bandara yang akan ditawarkan. Di antaranya bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, dan bandara baru di Jogjakarta. Untuk bandara Kertajati dikabarkan membutuhkan dana hingga senilai US$ 130 juta atau sekitar Rp 12,2 triliun.
Bambang menjelaskan, bandara tersbeut cocok untuk dibangun menggunakan mekanisme Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS), dimana selama masa konsesi sesuai aturan DNI akan diberikan kesempatan kepada asing maksimal 49%.
Namun, ia belum bisa memastikan berapa lama masa konsesi untuk proyek tersebut. Sebab, semuanya tergantung kesepakatan yang nantinya dilakukan antara investor dan pemerintah.
Bambang hanya menjelaskan, meskipun pengelolaannya diberikan kepada investor asing kepemilikannya tetap dikuasi pemerintah.
“Jadi bukan ini swastanisasi,” ujar Bambang, Rabu (25/12). Sayang, Bambang tidak menyebutkan siapa calon investor yang tengah dibidik pemerintah.
Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar menjelaskan sejumlah calon investor memang sudah melirik proyek di bidang usaha yang diperluas.
Namun, ia enggan menyebutkan siapa saja investor yang sudah menunjukan minatnya itu, dengan alasan belum saatnya dipublikasikan.
Mahendra juga bilang, di tahun 2014, dimana merupakan tahun Pemilihan Umum (Pemilu) memang tidak mudah untuk meyakinkan investor datang ke Indonesia.
Menurutnya, yang bisa dilakukan adalah pemerintah harus berkomitmen dengan segala janjinya untuk memperbaiki berbagai masalah, bukan hanya soal DNI saja tetapi kepastian berusaha.
Khusus untuk bidang usaha kebandarudaraan, pemerintah memang sebelumnya berniat membuka seluruhnya atau 100% untuk kepemilikan asing.
Namun, hal itu tidak bisa dilakukan karena bertentangan dengan Undang-undang yang terkait dengan perhubungan. “Ini contoh kalau kita coba menunjukan soal kepastian hukum,” ujar Mahendra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News