Reporter: Juwita Aldiani | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Penerapan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di akhir tahun ini masih jauh panggang dari api. Persoalan subsidi yang diyakini bisa menggairahkan industri energi terbarukan ini masih kusut.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi masih yakin energi terbarukan bisa menyumbang 23% dari semua bauran energi yang dibutuhkan dalam negeri di tahun 2025 mendatang.
Menurut dia, kebijakan feed-in tariff sudah benar di jalan mengembangkan EBT. "Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan feed-in tariff ini agar investor bisa berhitung keuntungan dari pembangunan energi terbarukan," kata Rinaldy usai diskusi Energi KIta di Gedung Dewan Pers pada Minggu (29/11).
Dengan feed-in tariff, pemerintah menyanggupi membeli energi terbarukan lebih mahal ketimbang harga jual PLN ke konsumen. Tak hanya untuk menarik investor di sumber energi baru seperti angin, matahari, dan biomassa, kebijakan ini juga sebagai subsidi agar melindungi konsumen jika biaya produksi naik.
Namun, menurut Rinaldy, kepentingan stakeholder yang menghambat berbagai sumber energi baru ini. Misalnya, Kementerian Keuangan yang berikhtiar mengurangi beban subsidi di APBN.
Rinaldy ingin ada rumusan masalah yang sama dari masing-masing kementrian seperti ESDM, Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas ) agar solusi yang ditawarkan bisa berjalan beriringan.
Menurut dia, titik terang EBT mulai terlihat jika sudah ada tiga indikator ini.
"Pertama, ada problem statement yang sama. Kedua, harus ada integrasi antara PLN, PGN, dan Pertamina dalam menjalankan sesuatu. Ketiga konsistensi dari pemerintah," ujar Rinaldy
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News