Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana menertibkan aturan soal predatory pricing pada e-commerce. Tapi, pemerintah diminta berhati-hati dalam menyikapi persoalan tersebut.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda, menekankan pemerintah harus terlebih dulu memastikan di industri mana praktik predatory pricing itu terjadi. Selain itu, harus dilihat lebih dulu bagaimana komponen pembentukan harga di e-commerce.
Hal penting lainnya ialah terkait kategorisasi yang jelas antara strategi promosi dengan praktek predatory pricing. Lalu, perlu juga dilihat bagaimana perlakuan platform terhadap seller yang ada dalam naungannya.
"Misalnya dari promo, apakah ini termasuk predatory pricing atau tidak? Apakah memang industrinya efisien secara tata niaga bukan karena predatory pricing? Bahkan hingga perlakuan platformnya apakah berbeda antara seller satu dengan lainnya," ungkap Huda kepada Kontan.co.id, Jum'at (5/3).
Baca Juga: Menertibkan predatory pricing untuk melindungi UMKM
Dia menambahkan, pengaturan terkait predatory pricing bisa sangat kompleks. Sebab, ada bermacam-macam jenis dan produk di dalam e-commerce. Di sisi lain, platform pun memang tengah bersaing dalam hal harga, lantaran mereka dituntut untuk bsia menaikan trafik.
"Untuk menarik minat masyarakat maka diberikanlah diskon-diskon seperti ongkir dan sebagainya. Sehingga trafik naik, nilai valuasi juga naik. Potensi pendanaan membesar. Tampaknya semua platform ecommerce juga melakukan promo yang serupa.," terang Huda.
Dihubungi terpisah, peneliti Lembaga Manajemen FEB Universitas Indonesia Taufiq Nur menilai, predatory pricing pada dasarnya merugikan dan mendorong praktik usaha yang tidak sehat. Di banyak negara, pelarangan praktik ini sudah diregulasi secara ketat.
Menurutnya, menjadi inisiatif yang positif jika Kemendag akan meregulasi sebelum praktik ini semakin banyak terjadi. Apalagi, konsumen pun sudah semakin banyak yang berpindah menggunakan barang dari luar negeri yang sangat murah.
"Karena kalau semakin lama dibiarkan, konsumen mulai banyak yang migrasi. Hal ini akan berdampak pada semakin terpukulnya UMKM, yang sebelumnya juga sudah terpukul karena shock pandemi," kata Taufiq.
Selama masih bisa mendapatkan barang murah dengan pengiriman terpercaya dan sesuai spesifikasi, konsumen akan tetap membeli. Hanya saja, membuat perangkat hukum terkait e-commerce dinilai bukan hal yang mudah.
Taufiq pun memberikan catatan, perlu ada penguatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait bisnis e-commerce. Seiring dengan potensi yang semakin besar dan pemain e-commerce yang kian banyak.
"Dengan dunia digital yang borderless, perlu menjadi perhatian dari aspek regulasi untuk melindungi UMKM indonesia dapat tumbuh melalui e-commerce," tegas Taufiq.
Baca Juga: Kemendag segera selesaikan persoalan predatory pricing di e-commerce