Reporter: Abdul Wahid Fauzie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tingginya harga bahan baku plastik rupanya membuat pemerintah khawatir sektor industri akan kekurangan bahan baku. Oleh karenanya, pemerintah sedang mengkaji rencana ijin impor plastik bekas agar bisa dilakukan daur ulang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman meminta kepada pemerintah untuk memperbolehkan ijin impor plastik bekas. Pasalnya, tingginya harga bahan baku membuat industri dalam negeri kesulitan membeli bahan baku. "Ijin ini untuk mempermudah industri," katanya, tadi siang disela-sela pameran Four in One Mega Show di Jakarta International Expo.
Asal tahu saja, harga bahan baku plastik saat ini telah melesat naik seiring dengan kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional. Untuk polyethilene, misalnya, harganya telah naik menjadi US$ 2.100 per ton dari US$ 1.700 per ton pada awal tahun. Sementara harga polyprophilene juga telah naik US$ 2.200 per ton dari US$ 1.800 per ton pada awal tahun.
Menurut Budi, tingginya harga bahan baku membuat industri kemasan melakukan penipisan ketebalan plastik agar tidak menggerus keuntungan. Selain itu, industri kemasan juga telah mencampur bahan baku pembuat plastik dengan plastik daur ulang. Sayangnya, kebutuhan plastik daur ulang belum mencukupi tingginya permintaan plastik.
Budi menjelaskan, tahun ini, permintaan plastik diperkirakan naik 6% dari kebutuhan plastik tahun lalu yang mencapai 2,4 juta ton. Kenaikan permintaan ini ditopang oleh kebutuhan plastik untuk pupuk dan pertanian. "Semester satu saja meningkat 4% menjadi 1,25 juta ton," tegasnya.
Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (Depperin) Benny Wachjudi membenarkan rencana pemerintah mengkaji impor plastik bekas. "Ijin ini untuk mengatasi tingginya bahan baku plastik yang diminta industri," tuturnya.
Namun, Benny menegaskan, plastik yang dapat diimpor harus dapat memenuhi syarat-syarat tertentu diantaranya aman terhadap lingkungan. Sayangnya, Benny enggan mengatakan kapan kajian tersebut akan selesai. "Semuanya masih dalam pembahasan," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News