Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
Menjawab pertanyaan mengenai sumber pendanaan, Fabby mengatakan bahwa dana untuk proyek ini berasal dari beberapa sumber, yaitu: Internal PLN, Lembaga keuangan nasional dan internasional, Pinjaman luar negeri (misalnya dari Asian Development Bank, World Bank, KFW, dan European Development Bank), hingga Penerbitan surat utang (bond) yang dijual kepada investor internasional.
“Swasta biasanya mengandalkan modal sendiri dan pinjaman, sedangkan PLN dapat tentunya berasal dari internal PLN dan memanfaatkan sumber pendanaan multilateral maupun bilateral, seperti China Development Bank atau China Exim Bank,” tambah Fabby.
Fabby memperkirakan biaya untuk pembangunan kapasitas pembangkitan 71 GW mencapai sekitar US$ 150-170 miliar. Dari jumlah itu, investasi untuk pembangkit EBT yang mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hidro, panas bumi, dan biomassa, diproyeksikan mencapai US$ 100-120 miliar.
Baca Juga: Portofolio Bisnis Grup Salim Kian Lengkap, Punya Bisnis Properti Hingga Pertambangan
Menurut Fabby, tambahan investasi diperlukan untuk teknologi energi lain, seperti pompa penyimpanan tenaga air (pump hydro energy storage), yang diperkirakan rampung pada 2028. Selain pembangkit, pembangunan jaringan transmisi dan distribusi juga membutuhkan investasi besar.
Tantangan dan Strategi
Fabby mengidentifikasi tiga faktor utama yang memengaruhi keberhasilan implementasi RUPTL.
Pertama, kebijakan dan regulasi pemerintah, artinya kebijakan yang mendukung daya tarik investasi energi terbarukan menjadi faktor kritis. Sebagai perusahaan yang tarif listriknya ditentukan oleh pemerintah, keberlanjutan bisnis PLN sangat bergantung pada regulasi yang dikeluarkan.
Kedua, kemampuan internal PLN yang ini mencakup kemampuan finansial, kecepatan eksekusi proyek, dan efisiensi dalam proses pelelangan. Fabby mencatat kelemahan dalam eksekusi seringkali menjadi hambatan, termasuk pengadaan proyek yang harus diulang akibat kurangnya peminat.
Baca Juga: ADB Kucurkan Pinjaman Rp 1,51 Triliun untuk Proyek Ekspansi Panas Bumi Indonesia
Ketiga, kapabilitas pengembang swasta. Sebab, tidak semua pengembang swasta memiliki kapasitas teknis dan finansial untuk memenuhi persyaratan PLN. Misalnya, masuk dalam daftar penyedia terbatas (DPT) PLN membutuhkan pengalaman proyek yang memadai dan keuangan yang sehat.
Menurut Fabby, skema bisnis yang melibatkan anak perusahaan PLN juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam menarik investor ekuitas yang bersedia menanggung porsi pendanaan yang signifikan.
“Hingga kini, sebagian besar investasi datang dari investor Asia Tenggara dan Tiongkok, sementara investor dari negara Barat relatif minim,” jelasnya.
Fabby menegaskan, PLN menghadapi tantangan signifikan dalam mendanai dan mengeksekusi proyek ini, tetapi dengan kebijakan yang mendukung, penguatan kapasitas internal, dan kemitraan yang efektif dengan sektor swasta, rencana ini dapat terealisasi.
"Transisi energi adalah jalan yang tidak bisa dihindari, dan keberhasilan PLN akan menjadi faktor penentu utama dalam transformasi energi Indonesia ke depan,” tutup Fabby.
Selanjutnya: I Kadek Sumiarta Menjadi Juara Ketiga 2024 Young Talents Escoffier Global Competition
Menarik Dibaca: Robert Kiyosaki Sebut, Bitcoin Membuat Orang Menjadi Kaya dengan Mudah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News