Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan target penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 71 gigawatt (GW) dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 dengan mayoritas sumbernya adalah energi baru terbarukan.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, langkah ini merupakan bagian dari upaya mendukung pertumbuhan ekonomi hingga 8% per tahun serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT).
“RUPTL ini sudah kami bahas bersama PLN dan kami sosialisasikan ke Menteri BUMN serta Menteri Keuangan. Dalam periode 2025-2034, sekitar 60% penambahan kapasitas pembangkit akan menggunakan energi baru terbarukan. Ini adalah wujud komitmen pemerintah dalam transisi energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca,” kata Bahlil ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (15/1).
Baca Juga: Rencana Penambahan Kapasitas Listrik 71 GW 70% dari EBT, Bagaimana Pendanaannya?
Bahlil menjelaskan, dalam RUPTL terbaru, penggunaan EBT akan mendominasi pengembangan sektor kelistrikan dengan target mencapai 60% dari total penambahan kapasitas.
Selain itu, pemerintah juga tengah mempersiapkan pembangunan jaringan transmisi supergrid sepanjang 48.000 kilometer persegi untuk mendukung sistem kelistrikan nasional.
“Supergrid ini menjadi prioritas dan sedang kami kaji pendanaannya. Internal Rate of Return (IRR) untuk pembangunan jaringan transmisi ini hanya sekitar 3-4%, berbeda dengan pembangkit listrik yang lebih tinggi. Oleh karena itu, skema pendanaannya akan disesuaikan dengan kebutuhan,” tambah Bahlil.
Bahlil bilang investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1.100 triliun. Rinciannya, sekitar Rp 400 triliun untuk pengembangan jaringan transmisi dan Rp 600 triliun hingga Rp 700 triliun untuk pembangunan pembangkit listrik, dengan sebagian besar pendanaan diharapkan berasal dari sumber dalam negeri.
“Pendanaannya tidak bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian besar berasal dari dalam negeri melalui skema Power Purchase Agreement (PPA) dan Independent Power Producer (IPP),” tegas Bahlil.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Zulfan Zahar mendukung rencana penambahan kapasitas listrik 71 GW dengan mayoritas dari EBT.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Peningkatan Kapasitas Listrik 71 GW, 70% dari EBT
"Kami siap dukung. Kami berharap tendernya bisa sekaligus kuotanya dalam satu kali tender. Kemudian tender betul-betul mengikuti acuan, baik terkait tarif dan mekanismenya," kata Zulfan kepada Kontan, Rabu (15/1).
Menurut Zulfan, selama ini cukup banyak proyek yang mangkrak karena regulasi lama, sehingga saat ini dibutuhkan percepatan pelaksanaan lelang.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan, PLN akan menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan rencana penambahan kapasitas listrik sebesar 71 gigawatt (GW) dengan 70% berasal dari energi baru terbarukan (EBT), seperti yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2030.
Menurut Fabby, pendanaan dan strategi yang tepat menjadi kunci keberhasilan proyek ini. Rencana tersebut merupakan bagian dari strategi transisi energi yang sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan kebijakan dekarbonisasi untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih awal.
Sumber Pendanaan Proyek
Menjawab pertanyaan mengenai sumber pendanaan, Fabby mengatakan bahwa dana untuk proyek ini berasal dari beberapa sumber, yaitu: Internal PLN, Lembaga keuangan nasional dan internasional, Pinjaman luar negeri (misalnya dari Asian Development Bank, World Bank, KFW, dan European Development Bank), hingga Penerbitan surat utang (bond) yang dijual kepada investor internasional.
“Swasta biasanya mengandalkan modal sendiri dan pinjaman, sedangkan PLN dapat tentunya berasal dari internal PLN dan memanfaatkan sumber pendanaan multilateral maupun bilateral, seperti China Development Bank atau China Exim Bank,” tambah Fabby.
Fabby memperkirakan biaya untuk pembangunan kapasitas pembangkitan 71 GW mencapai sekitar US$ 150-170 miliar. Dari jumlah itu, investasi untuk pembangkit EBT yang mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hidro, panas bumi, dan biomassa, diproyeksikan mencapai US$ 100-120 miliar.
Baca Juga: Portofolio Bisnis Grup Salim Kian Lengkap, Punya Bisnis Properti Hingga Pertambangan
Menurut Fabby, tambahan investasi diperlukan untuk teknologi energi lain, seperti pompa penyimpanan tenaga air (pump hydro energy storage), yang diperkirakan rampung pada 2028. Selain pembangkit, pembangunan jaringan transmisi dan distribusi juga membutuhkan investasi besar.
Tantangan dan Strategi
Fabby mengidentifikasi tiga faktor utama yang memengaruhi keberhasilan implementasi RUPTL.
Pertama, kebijakan dan regulasi pemerintah, artinya kebijakan yang mendukung daya tarik investasi energi terbarukan menjadi faktor kritis. Sebagai perusahaan yang tarif listriknya ditentukan oleh pemerintah, keberlanjutan bisnis PLN sangat bergantung pada regulasi yang dikeluarkan.
Kedua, kemampuan internal PLN yang ini mencakup kemampuan finansial, kecepatan eksekusi proyek, dan efisiensi dalam proses pelelangan. Fabby mencatat kelemahan dalam eksekusi seringkali menjadi hambatan, termasuk pengadaan proyek yang harus diulang akibat kurangnya peminat.
Baca Juga: ADB Kucurkan Pinjaman Rp 1,51 Triliun untuk Proyek Ekspansi Panas Bumi Indonesia
Ketiga, kapabilitas pengembang swasta. Sebab, tidak semua pengembang swasta memiliki kapasitas teknis dan finansial untuk memenuhi persyaratan PLN. Misalnya, masuk dalam daftar penyedia terbatas (DPT) PLN membutuhkan pengalaman proyek yang memadai dan keuangan yang sehat.
Menurut Fabby, skema bisnis yang melibatkan anak perusahaan PLN juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam menarik investor ekuitas yang bersedia menanggung porsi pendanaan yang signifikan.
“Hingga kini, sebagian besar investasi datang dari investor Asia Tenggara dan Tiongkok, sementara investor dari negara Barat relatif minim,” jelasnya.
Fabby menegaskan, PLN menghadapi tantangan signifikan dalam mendanai dan mengeksekusi proyek ini, tetapi dengan kebijakan yang mendukung, penguatan kapasitas internal, dan kemitraan yang efektif dengan sektor swasta, rencana ini dapat terealisasi.
"Transisi energi adalah jalan yang tidak bisa dihindari, dan keberhasilan PLN akan menjadi faktor penentu utama dalam transformasi energi Indonesia ke depan,” tutup Fabby.
Selanjutnya: I Kadek Sumiarta Menjadi Juara Ketiga 2024 Young Talents Escoffier Global Competition
Menarik Dibaca: Robert Kiyosaki Sebut, Bitcoin Membuat Orang Menjadi Kaya dengan Mudah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News