Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang pergantian pemerintahan pada 20 Oktober mendatang, isu energi diperkirakan akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya impor LPG (elpiji) yang selama ini dikonsumsi oleh jutaan rumah tangga dan pelaku usaha di Indonesia.
Berdasarkan data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), subsidi gas sejak 2019 hingga tahun ini mencapai Rp 460 triliun.
Nilai impor LPG pada periode 2019-2023 mencapai Rp 288 triliun, sementara total subsidi gas pada periode yang sama mencapai Rp 373 triliun. Artinya, 77% dari subsidi LPG digunakan untuk mengimpor LPG.
Baca Juga: Antisipasi Krisis, Pemerintah Tetapkan 3 Jenis Cadangan Penyangga Energi
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa besarnya subsidi energi, khususnya LPG, akan menjadi beban bagi pemerintahan baru.
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk melakukan terobosan dengan mengoptimalkan sumber daya alam domestik, seperti gas bumi yang produksinya masih sangat besar di Indonesia.
“Kami kira upaya melakukan diversifikasi sumber energi menjadi penting untuk dilakukan oleh pemerintahan yang baru nanti, terutama dalam upaya mencapai target penurunan emisi gas buang dalam beberapa tahun mendatang dan juga dalam upaya mengurangi subsidi yang relatif besar,” ujar Yusuf Rendy Manilet dalam keterangannya, Selasa (3/9).
Lebih lanjut, Yusuf menilai bahwa gas bumi akan semakin memiliki peran strategis bagi pemenuhan energi nasional di masa depan.
Selain berperan sebagai energi transisi menuju net zero emission pada 2060, gas bumi juga merupakan sumber daya yang paling banyak ditemukan di Indonesia saat ini.
“Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki cadangan gas terbesar di dunia,” tambahnya.
Baca Juga: PMI Manufaktur Agustus 2024 Kontraksi Dalam, Belum Ada Kebijakan Signifikan Industri
Salah satu aset strategis yang harus segera dioptimalkan oleh pemerintahan baru adalah perluasan jaringan gas bumi untuk rumah tangga (Jargas). Dengan memanfaatkan jaringan gas kota, pemerintah dapat mengurangi subsidi yang selama ini besar dialokasikan untuk impor LPG.
“Di sisi lain, optimalisasi gas bumi tidak hanya bisa dilakukan melalui pemasangan jaringan gas tetapi juga dengan mendorong perusahaan BUMN seperti PLN untuk menggunakan energi gas sebagai sumber pembangkit di luar batubara,” lanjut Yusuf.
Dengan demikian, penggunaan gas oleh PLN dapat menjaga daya saing harga gas nasional dan mengurangi penggunaan batubara yang dianggap kurang ramah lingkungan.
“Potensi gas bumi yang besar akan sangat disayangkan jika tidak digunakan untuk berbagai aktivitas ekonomi yang bisa mendorong pembangunan, termasuk pembangunan industri dalam jangka menengah hingga panjang,” imbuhnya.
Inisiatif ini sejalan dengan upaya Kementerian ESDM untuk memaksimalkan pemanfaatan Jargas. “Kita bisa memanfaatkan produksi gas dalam negeri sebagai pengganti LPG, serta mengurangi impor dan subsidi,” ungkap Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian ESDM, Noor Arifin Muhammad, dalam keterangan resminya.
Ke depan, program Jargas diharapkan dapat diekspansi lebih luas dan penetrasinya lebih masif, mengingat penggunaan gas bumi sejalan dengan peta jalan yang digagas pemerintah dalam transisi menuju energi bersih.
Baca Juga: Jenis-Jenis Sumber Energi yang Digunakan untuk Mememnihi Kebutuhan Harian Kita
Sejauh ini, pelaksanaan pembangunan Jargas dilakukan melalui pembiayaan APBN dan Non-APBN (Badan Usaha). Hingga akhir 2023, total Jargas yang telah terbangun mencapai 992 ribu Sambungan Rumah (SR) yang tersebar di 17 provinsi.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan bahwa optimalisasi gas bumi sebagai solusi atas beban LPG bagi negara adalah sebuah keniscayaan. Terlebih dalam 10 tahun terakhir, konsumsi LPG untuk rumah tangga di Indonesia meningkat hingga 200%.
Dalam APBN 2024, porsi subsidi LPG merupakan yang terbesar, yaitu 44,55% atau senilai Rp83,27 triliun dari total subsidi energi senilai Rp186,90 triliun.
“Peningkatan alokasi anggaran subsidi LPG mulai terjadi sejak 2006, seiring dengan konversi penggunaan minyak tanah ke LPG,” jelas Komaidi.
Saat itu, LPG menjadi solusi karena beban subsidi minyak tanah terus meningkat, mencapai 50% dari total subsidi BBM pada 2006.
“Jika dibandingkan dengan minyak tanah, penggunaan LPG telah terbukti memberikan manfaat ekonomi, salah satunya perbaikan kondisi fiskal melalui penghematan anggaran subsidi di APBN,” lanjutnya.
Baca Juga: Genjot Investasi Hulu Migas, Pemerintah Beri Insentif Menarik ke Kontraktor Migas
Namun, ketergantungan yang besar terhadap impor LPG menyebabkan tekanan langsung pada kondisi fiskal dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Konsumsi LPG dalam negeri meningkat signifikan dari sekitar 1,27 juta ton pada 2007 menjadi sekitar 9 juta ton pada 2023, sementara produksi LPG dalam negeri hanya meningkat dari 1,40 juta ton pada 2007 menjadi 1,98 juta ton pada 2023.
“Konversi penggunaan LPG dengan meningkatkan pemanfaatan gas bumi dapat menjadi solusi atas sejumlah kendala dalam penggunaan LPG di dalam negeri. Dari aspek fiskal, kondisi keuangan negara atau APBN berpotensi lebih baik karena harga gas bumi untuk satuan yang sama lebih rendah dibandingkan harga LPG,” sarannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News