Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kontroversi pemungutan pajak bumi bangunan (PBB) terhadap wilayah kerja pertambangan kian memuncak. Para penambang menganggapi besaran tarif PBB tidak mendasar dan ada perilaku tebang ke kontraktor.
Sumber KONTAN bercerita, Kantor Pelayanan Pajak telah menetapkan tagihan PBB untuk wilayah kerja eksplorasi West Aru milik BP Indonesia sekitar Rp 600 miliar. Saat bersamaan, perusahaan migas yang lain seperti Salamander Energy Indonesia hanya dikenai tagihan PBB untuk wilayah kerja eksplorasinya sebesar Rp 30 juta.
Meski tak tahu persis besaran PBB yang harus dibayarkan masing-masing kontraktor kontrak kerja sama, Wakil Ketua Indonesia Petroleum Association Sammy Hamzah mengakui bahwa PBB yang harus dibayarkan BP Indonesia merupakan yang terbesar diantara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lainnya. Sedangkan PBB Salamander merupakan yang terkecil.
Ia menduga, perbedaan PBB di antara kedua perusahaan tersebut lantaran adanya kesalahan administrasi. Terutama berkaitan dengan dokumen yang disetorkan oleh KKKS ke kantor pajak.
Malah, PT Ephindo, perusahaan milik Sammy juga pernah mengalami hal serupa dan harus membayar PBB diatas Rp 5 miliar untuk satu wilayah kerja perusahaan di Kalimantan Timur. "Itu teknis administrasi saja," ujar dia kepada KONTAN Selasa (2/9) lalu.
Faktor lainnya adalah soal penentuan objek pajak yang kurang wajar. Saat ini, kesepakatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan soal objek PBB wilayah kerja migas adalah bagian diatas permukaan bumi dan sebagian lain ada di bawah permukaan bumi.
Di bagian atas permukaan bumi, PBB tidak dikenakan untuk seluruh wilayah kerja tetapi hanya bagian yang dimanfaatkan kontraktor. Misalnya, bila pengeboran dikerjakan di wilayah seluas satu hektare (ha), maka cakupan penentuan PBB cukup di wilayah kerja tersebut.
Sayangnya, objek PBB di bawah permukaan bumi dikenakan untuk seluruh wilayah kerja. Padahal KKKS sebenarnya tidak memanfaatkan seluruh wilayah kerja yang berada di bawah permukaan bumi. "Apalagi saat tahapan eksplorasi," ujar dia.
Definisi inilah yang memberatkan penambang. Soalnya, perusahaan yang baru beraktivitas eksplorasi dan kudu membayar signature bonus, harus membayar PBB yang nilainya bisa lebih besar.
Tak heran, beberapa KKKS, kata Sammy, sudah mengajukan keberatan ke kantor pajak. Tapi ditolak. Untuk itu, KKKS berencana mengajukan banding ke pengadilan pajak.
Susahnya, untuk bisa mengajukan banding ke pengadilan pajak, KKKS harus membayar 50% dari total tagihan PBB lebih dulu. Ketentuan ini jelas memberatkan KKKS yang masih tahapan eksplorasi. Bila PBB sebesar US$ 20 juta, maka si penambang harus membayar US$ 10 juta. "Ini sangat berat," timpalnya.
Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengaku tidak tahu persis besaran piutang PBB untuk wilayah kerja eksplorasi ini. Soal tagihan pajak ini, kata dia, merupakan masalah operasional yang menjadi urusan kantor pelayanan pajak. Nah, masing-masing kantor pajak punya hitungan tersendiri soal wilayah kerja dan area yang produktif. "Pasti berbeda antara satu wilayah kerja dengan wilayah kerja yang lainnya," jelas dia.
Saat ini, KKKS yang keberatan soal besaran tagihan PBB sudah mengajukan banding ke pengadilan pajak. "Tunggu saja keputusan pengadilan," kata Fuad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News