kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Penetapan harga pangan sulit terealisasi


Rabu, 07 September 2016 / 10:33 WIB
Penetapan harga pangan sulit terealisasi


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Keluhan selalu saja datang ketika harga komoditas pangan bergerak naik atau turun. Jika harga pangan naik, konsumen bakal dibuat pusing, sedangkan ketika harga turun, para produsen, yakni petani atau peternak, bakal menjerit karena terancam rugi.

Di sisi lain, fluktuasi harga pangan juga membuat inflasi menjadi tinggi dan mempengaruhi daya beli masyarakat. Makanya, pemerintah menggulirkan rencana untuk menetapkan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price) untuk harga jual eceran di pasar.

Namun, hingga kini, rencana tersebut belum detail, sehingga masih menjadi polemik di mata publik.

Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan, kebijakan ini seharusnya sekadar referensi. Menurutnya, petani paham harga referensi terendah suatu produk pangan dan konsumen juga telah menghitung harga referensi tertinggi suatu komoditas yang layak untuk dibeli.

Masalah justru akan muncul kalau harga pangan berada di luar batas atas maupun batas bawah. Alhasil, petani dan konsumen tak akan bisa bersikap karena belum ada jaminan dari pemerintah. "Kebijakan ini sulit terealisasi, apalagi ambisinya dapat menekan inflasi pangan strategis. Sebab, tata niaga pangan saat ini tidak berada di bawah kontrol pemerintah," ujar Enny kepada KONTAN, Selasa (6/9).

Selama ini, tata niaga pangan hampir seluruh komoditas mengikuti mekanisme pasar yang masih dipenuhi sistem kartel. Bila terjadi kenaikan harga pangan, pemerintah tidak punya kekuasaan untuk mengontrol harga karena tidak memiliki stok. Enny bilang, upaya maksimal yang dilakukan pemerintah adalah Operasi Pasar (OP) dengan efek yang sangat minim.

Selain itu, kebijakan ini sulit terealisasi karena tidak sekalipun pemerintah membahas soal sanksi bagi pedagang yang terbukti bermain harga dengan menjual di luar batas refensi harga pangan. Masalah lain juga akan muncul jika kebijakan ini dipaksakan berjalan tanpa jaminan. Sebab, menurut Enny, bisa saja tidak ada lagi yang berminat menjadi pedagang komoditas pangan.

Khudori, Pengamat Pertanian menambahkan, kebijakan baru pemerintah ini bukanlah orisinil dan baru lantaran pernah diterapkan saat zaman orde baru. Ketika itu pemerintah punya lembaga pangan bernama Badan Urusan Logistik (Bulog) yang menguasai semua jenis komoditas pangan. "Kalau sekarang tidak bisa, pemerintah tak punya lagi lembaga yang kuat seperti Bulog di masa lalu," ungkapnya.

Selain membentuk lembaga yang mengurus soal pergerakan harga dan pasokan pangan, penerapan kebijakan ini juga menuntut pemerintah berkantong tebal untuk memastikan harga batas atas dan batas bawah tidak terlampaui sehingga tak ada yang merasa dirugikan.

Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag) menjelaskan bahwa sejauh ini, ada tujuh komoditas yang akan ditetapkan harga batas atas dan bawah, yakni beras, kedelai, jagung, daging, bawang merah, cabai, dan gula. Selain itu, Kemdag juga tengah mengkaji untuk mengendalikan harga daging ayam.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×