Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
Kondisi ini diperparah dengan hutang jatuh tempo global bond PLN untuk membiayai proyek 35.000 MW. Kondisi ini disebut Toto berpotensi membuat keuangan PLN tertekan. Secara khusus untuk PLN, Toto menilai perlu ada dorongan lain dari pemerintah.
Dorongan tersebut dapat berupa kebijakan moratorium atas rencana investasi infrastruktur kelistrikan yang belum memasuki tahap eksekusi. "Juga melakukan renegosiasi atas hutang baik kepada kreditur maupun IPP atas situasi Covid ini yg bisa dianggap keadaan force majeur," jelas Toto.
PLN (Persero) tengah tertekan pandemi virus corona (covid-19). Namun, di saat yang bersamaan, perusahaan setrum plat merah ini harus membayar kewajiban utang jatuh tempo sekitar Rp 35 triliun.
Oleh sebab itu, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan pihaknya tengah melakukan pendekatan kepada kreditor atau perbankan supaya bisa melakukan reprofiling utang. Dengan begitu, PLN berharap pokok utang yang seharusnya dibayarkan pada tahun ini bisa mengalami pergeseran.
Baca Juga: Progam pemulihan ekonomi, Waskita Karya (WSKT) dapat dana talangan Rp 3,4 triliun
"Kami saat ini sedang melakukan pendekatan terhadap bank-bank untuk melakukan reprofiling daripada pokoknya. Jadi kami mencoba, kalau ada pokok utang yang jatuh tempo di tahun 2020 ini, kami meminta untuk reprofiling ke tahun berikutnya," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR yang digelar secara virtual, Rabu (22/4)
Tak hanya kepada perbankan, PLN pun meminta keringanan terhadap kewajiban yang harus ditunaikan pada pemerintah, seperti Subsidiary Loan Agreement (SLA). "Kami juga bicara dengan Kemenkeu, apabila kewajiban kami kepada pemerintah terkait dengan SLA, kami pun akan memohon untuk meringankan beban kami tersebut," sambung Zulkifli.
Adapun, PLN pun berharap adanya pembayaran utang kompensasi tagihan listrik dari pemerintah. Pasalnya, utang kompensasi pemerintah terhadap PLN mencapai sekitar Rp 48 triliun, dengan rincian Rp 23 triliun piutang kompensasi untuk tahun 2018, dan Rp 25 triliun untuk tahun 2019. "Utang pemerintah ke kami itu merupakan utang kompensasi. Namun yang 2019 itu masih proses audit BPK," ungkap Zulkifli.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News