Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai salah satu negara produsen kopi, Indonesia harus serius dalam mengembangkan komoditas perkebunan rakyat yang mayoritas dimiliki petani tersebut.
Pasalnya, dari sisi produksi dan ekspor, kopi Indonesia mengalami tren penurunan akibat sejumlah faktor.
Pengamat Pertanian dari CORE Eliza Mardian mengatakan, sebetulnya kondisi tata niaga kopi di Indonesia kurang baik-baik saja. Apalagi ada pengaruh El Nino di tahun 2023 yang berdampak ke mundurnya musim panen dan penurunan produksi.
Baca Juga: Ekspor Kopi RI Belum Terdampak Signifikan Regulasi Antideforestasi Uni Eropa
Begitu juga di Vietnam terjadi hal serupa. Jika mengacu ke ITC Trademap, di tahun 2022 posisi Indonesia sebaga eksportir biji kopi dari sisi volume berada diurutan keempat, setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
"Namun pada tahun 2023 posisi Indonesia menjadi kelima, disalip Uganda dan Honduras," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (24/9).
Pada aspek daya saing ekspor yang diilihat dari keunggulan komparatif pun Indonesia masih terbilang relatif rendah dibandingkan Brazil, Kolombia dan Vietnam.
"Kalau dilihat dari tren produksi dan kebijakan pemerintah yang masih kurang memadai dan dibayangi dampak perubahan iklim, maka ekspor biji kopi Indonesia akan turun karena prouduksi dalam negeri terus menurun," papar dia.
Baca Juga: BMKG Ungkap Dampak Serius Perubahan Iklim Pada Penurunan Produksi Kopi
Menurut Eliza, penyebab rendahnya produksi kopi nasional akibat produktivitas yang juga rendah. Hal ini merupakan dampak dari tidak adanya kebijakan khusus pemerintah yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas kopi.
"Ini berbeda banget dengan komoditas pangan seperti padi, jagung, dan kedelai, dimana kebijakan-kebijakan pemerintah cukup beragam, meskipun hasilnya masih belum optimal," paparnya.
Adapun salah satu kunci peningkatan produktivitas kopi adalah dimulai dari peningkatan kualitas bibit di level petani. Yang terang, juga pentingnya inovasi dari pusat-pusat penelitian untuk menghasilkan bibit yang berkualitas dan terjangkau untuk para petani kopi.
Selain itu, Eliza bilang, pemerintah perlu memberikan pendampingan kepada para petani kopi khususnya pada tiga tahun pertama hingga tanaman ini berbuah.
Baca Juga: CEO Baru Ingin Jadikan Starbucks Kembali Sebagai Kedai Kopi Lagi
Kualitas tenaga penyuluh juga perlu ditingkatkan. Sebelum otonomi daerah, tenaga penyuluh itu berasal dari pusat dan memiliki keahlian untuk masing-masing komoditas.
Nah, sementara pasca otonomi daerah, kualitas penyuluh yang berasal dari pemerintah daerah oleh sebagian pihak dipandang masih perlu dibenahi khususnya yang berkaitan dengan penguasaan terhadap tanaman kopi.
"Apalagi jika untuk menghasilkan kombinasi bibit kopi yang enak, dapat diproduksi dengan cepat, dan dalam jumlah yang banyak bukanlah hal yang mudah," ungkapnya.
Oleh karena itu, riset dan pengembangan harus terus dilakukan pemerintah.
Eliza menuturkan, pemerintah, misalnya, dapat mencontoh pemerintah Brazil dan Vietnam yang mampu menghasilkan kebijakan yang mendukung peningkatan produktivitas kopi di masing-masing negara tersebut.
Seperti diketahui, sekitar 75% kopi di Indonesia merupakan jenis robusta, sebanyak 25% adalah arabika, dan sisanya sebanyak 5% merupakan spesial arabika.
Harga kopi spesial lebih tinggi dibandingkan jenis kopi lainnya. Hanya saja, selain produksinya lebih sedikit, masa panen yang lebih lama, proses pemeliharaan kualitasnya juga lebih panjang, mulai dari petani hingga ke konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News