kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengembangan BBN butuh regulasi jelas


Kamis, 02 Juli 2015 / 19:04 WIB
Pengembangan BBN butuh regulasi jelas


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Pengembangan Bahan Bakar Nabati membutuhkan regulasi yang jelas dari pemerintah. Pasalnya jika tidak ada aturan yang menyeluruh dari hulu hingga hilir justru akan menghambat.

Chairman Indonesia Institute for Clean Energy Lulu Sumiarso menegaskan pengembangan bio energy atau Bahan Bakar Nabati harus jangka panjang dan tidak bisa dengan kebijakan sepenggal-sepenggal tanpa diikuti aturan lainnya.

 “Saya tidak yakin apakah sekarang ada strategi atau tidak untuk itu perlu dibuat strateginya karena menghadapi energy. Kebijakan tanpa diimbangi peraturan akan menghambat,” kata Lulu, Kamis (2/7).

Kabijakan secara menyeluruh hingga ke pemerintah daerah sangat diperlukan karena dukungan pemerintah daerah, menurut Lulu sangat diperlukan terutama untuk memfasilitasi pemasaran bio diesel.

"Pengembangan bio energy ini terkesan mahal jika dibandingkan dengan harga BBM di Jakarta dan jawa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan harga BBM di lokal setempat misalnya Papua tentunya tidak akan mahal," tambah Lulu.

Pemerintah sudah seharusnya menentukan ke mana arah kebijakan energi dan pengembangan bahan bakar nabati tersebut sehingga arah peraturan pendukungnya yang ditetapkan bisa terarah. Lulu mencontohkan seperti sebuah orchestra maka masing-masing pembuat kebijakan harus mengerti peraturan sehingga tercipta harmoni.

"Harus ada visi energy yang jelas dan menyeluruh mengurangi peran energi fosil. Seperti pada orkestra siapa melakukan apa untuk mewujudkan visi tersebut," tegasnya. 

Salah isu yang sangat teknis dan krusial adalah mengenai penetapan Harga Indeks Pasar Biodiesel. Apa pun kalkulasi ekonominya, pembuat kebijakan teknis harus mengingat semangat dasarnya adalah mengembangkan BBN dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap BBM impor.

Ketua DMSI Derom Bangun menegaskan pemerintah tidak boleh tinggal diam dalam penetapan harga yang dilakukan Pertamina sehingga target penyerapan biodiesel di pasar domestik sebesar 3 juta Kiloliter (KL) bisa terpenuhi. "Secara teoritis 10% harusnya 3 juta KL atau 2,8 juta ton CPO," ujarnya.

Saat ini, produsen biodiesel merugi akibat Pertamina menggunakan Mean of Platts Singapore (MOPS) alias harga minyak Singapura sebagai harga dasar biodiesel. Kejatuhan harga minyak bumi sampai di kisaran US$ 50/barrel membuat produsen biodiesel rugi. Sebab harga CPO masih USD 665/ton. Dengan menggunakan patokan MOPS, Pertamina hanya membeli biodiesel dengan harga sekitar US$ 500/ton.

Melihat situasi bisnis yang tak kondusif untuk biodiesel ini, Derom memprediksi penyerapan biodiesel di dalam negeri tahun ini bakal menurun. Meski perkiraan global memprediksi produksi biodiesel Indonesia tahun ini 3,2 juta ton, dirinya pesimis dengan angka itu. "Saya ragu dengan taksiran itu," katanya.

Dia memperhitungkan, total produksi biodiesel Indonesia tahun ini kemungkinan hanya 2 juta ton, menurun dari tahun lalu yang mencapai 2,9 juta ton. Dari 2 juta ton itu, hanya 1,1-1,2 juta ton biodiesel saja yang diserap di dalam negeri, sisanya diekspor.

Ekspor biodiesel diperkirakannya juga menurun jauh karena harga minyak bumi yang makin murah hingga di bawah harga biodiesel. Selain itu, permintaan biodiesel berbahan baku CPO di Eropa juga turun karena mereka meningkatkan penggunaan minyak kedelai yang selisih harganya dengan CPO kini hanya USD 50/ton. "Taksiran saya hanya 2 juta ton tahun ini dan hanya 1,1 atau 1,2 juta ton tahun ini diserap di dalam negeri, ekspor hanya 0,8 juta ton," katanya lagi.

Lamanya penetapan harga HIP biodiesel menunjukkan adanya kegamangan. Jika mau serius kembangkan BBN biodiesel. Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah merencanakan penurunan HIP biodiesel dari USD 188 + harga CPO menjadi USD 125 + biaya CPO. Harga yang disebut awal merupakan biaya pemprosesan CPO menjadi fame, bahan baku untuk dicampurkan ke  solar.

Penurunan HIP jangan lagi diikuti dengan penambahan biaya-biaya lain seperti ongkos transportasi. Sebaiknya hal itu menjadi beban dari pihak pengguna, dalam hal ini badan usaha penyalur BBM yang bertugas mencampur fame dengan solar.

Polemik soal HIP biodiesel hanyalah satu dari berbagai permasalahan teknis yang bisa menghambat semangat awal pemerintah untuk mulai membangun ketahanan energi nasional. Dalam hal ini pengamat mengingatkan, pelaku usaha BBM impor tidak akan pernah diam.

Mereka akan terus melakukan berbagai cara agar BBN sulit berkembang  agar tetap kalah bersaing dengan BBM impor.  Mereka bisa membuat situasi yang begitu menekan dengan tujuan agar pemerintah kembali bertindak pragmatis: tetap tergantung pada  BBM impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×