kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45894,21   -3,80   -0.42%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengembangan EBT kepentok kondisi PLN


Kamis, 04 Maret 2021 / 06:41 WIB
Pengembangan EBT kepentok kondisi PLN
ILUSTRASI. Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah


Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Yudho Winarto

Sementara itu, mahal murahnya pengembangan EBT disebabkan berbagai faktor. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menggunakan teknologi ultra supercritical bisa mencapai US$ 2.000 kWh hingga US$ 3.000 kWh dengan menggunakan teknologi untuk penurun emisi, dan bergantung pada regulasi lingkunya.

Sedangkan untuk PLTU dengan teknologi biasa saja tanpa pengendalian emisi cenderung murah di US$ 0,05 per kWh hingga US$ 0,06 per kWh dengan harga batubara di kisaran US$ 30 per ton hingga US$ 40 per ton.

Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dia mengakui harga investasi pengembangannya masih cukup mahal, mengingat ada risiko tinggi pada eksplorasi. Ditambah lagi, eksplorasi juga perlu didukung infrastruktur yang mahal serta biaya buka lahan.

Hitungannya, sekitar 40% capex digunakan untuk biaya eksplorasi dengan kisaran US$ 3 juta hingga US$ 6 juta. Belum lagi, dari satu proyek, tingkat kesuksesan pengeboran hanya 30%, dengan biaya tahap eksplorasi bisa mencapai US$ 30 juta dengan masa pengembangan 11 tahun hingga 13 tahun.

"Perusahaan juga harus menunggu sekitar 10 tahun baru bisa mendapatkan pay back, sehingga harga rata-rata untuk PLTP berkisar US$ 0,08 kWh hingga US$ 0,12 kWh," paparnya.

Untuk capex teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), diungkapkan Fabby sudah mengalami penurunan sekitar 85% dari satu dekade yang lalu. Dengan begitu, saat ini harga listrik dari PLTS atap untuk size sekitar 72.000 meter persegi bisa di bawah US$ 0,08 per kWh dan semakin besar akan semakin murah lagi. 

Baca Juga: Menteri ESDM: PLTS dan PLTA bakal jadi tumpuan EBT

Sedangkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB) jika dibangu dalam skala besar bisa menawarkan harga yang lebih murah. Di mana Fabby mengungkapkan selama satu dekade terakhir harganya sudah mengalami penurunan hingga 55%. Hanya saja dari sisi biaya mobilisasi logistik cukup mahal.

"Jadi pengembangan EBT sebenarnya tidak mahal, tergantung teknologi apa yang digunakan," tekannya.

Di sisi lain, Fabby menyambut baik Rancangan Peraturan Presiden (Presiden) terkait tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari EBT. Ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong EBT keluar dari pulau Jawa, megingat biaya produksi PLN di luar Jawa cenderung mahal.

"Itu juga bisa membuka sumbatan investasi EBT yang dalam 5 tahun terakhir cenderung mandeg karena peraturan pemerintah. Harusnya gairah investasi ke depan meningkat dan tetap diperlukan kebijakan agresif, termasuk dalam hal birokrasi," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×