kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengembangan EBT kepentok kondisi PLN


Kamis, 04 Maret 2021 / 06:41 WIB
Pengembangan EBT kepentok kondisi PLN
ILUSTRASI. Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah


Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masih tersendatnya pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Tanah Air dinilai tidak sebatas pada masalah biaya dan waktu perizinan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa sebut kendalanya selalu berujung pada kondisi Perusahaan Listrik Negara (PLN).

"Sulit (kembangkan EBT) karena PLN, mereka over capacity, reserved margin di atas 55% sementara permintaan listrik turun. Bahkan hanya tumbuh separuh dari proyeksi rencana lima tahun lalu yang diprediksi tumbuh 7%-8%, tapi sekarang rata-rata hanya 4,5%. Jadi semua bergantung pada PLN," jelas Fabby kepada Kontan.co.id, Rabu (3/3).

Dia juga menambahkan, persepsi yang berkembang saat ini adalah kalau PLN menambah EBT, artinya akan menambah kapasitas atau pasokan lagi.

Fabby juga mencontohkan, jika suatu perusahaan swasta ingin menjual produksi listriknya pada PLN, belum ada jaminan produksi tersebut akan dibeli. Mengingat, kondisi PLN sendiri masih berlimpah pasokan, di tengah tren penurunan permintaan.

"Akhirnya pengembangan EBT kepentok dengan kondisi PLN, saat PLN tidak bisa jual listrik terjadilah perlambatan (pengembangan EBT)," tegasnya.

Baca Juga: Biaya pembangkit EBT masih kalah kompetitif, begini tanggapan pelaku usaha

Kunci lain yang dianggap cukup manjur untuk mendorong pengembangan EBT menurut Fabby adalah, menggeser subsidi pemerintah dari subsidi biodiesel menjadi subsidi EBT.

Selama ini tarif PLN cenderung dikendalikan lewat subsidi pemerintah, padahal jika tarifnya disesuaikan dengan inflasi dan perubahan energi primer maka akan berada di kisaran Rp 1.600 per KWh hingga Rp 1.800 per KWh.

Sementara itu, tahun lalu pemerintah menggelontorkan subsidi listrik sektar Rp 79 triliun. Jika tanpa subsidi, sudah seharusnya tarif listrik PLN lebih tinggi 30% dibandingkan tarif listrik saat ini.

Sebagai informasi, Tarif listrik pelanggan non subsidi periode Januari-Maret 2021, untuk pelanggan Tegangan Rendah (TR) seperti pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 s.d. 5.500 VA, 6.600 VA ke atas, pelanggan bisnis dengan daya 6.600 s.d. 200 kVA, pelanggan pemerintah dengan daya 6.600 s.d. 200 kVA, dan penerangan jalan umum, tarifnya tidak naik atau tetap sebesar Rp 1.444,70/kWh.

Sedangkan khusus untuk pelanggan rumah tangga 900 VA-RTM, tarifnya tidak naik atau tetap sebesar Rp 1.352/kWh. Pelanggan Tegangan Menengah (TM) seperti pelanggan bisnis, industri, pemerintah dengan daya >200 kVA, dan layanan khusus, besaran tarifnya tetap sebesar Rp 1.114,74/kWh.

Sementara itu, mahal murahnya pengembangan EBT disebabkan berbagai faktor. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menggunakan teknologi ultra supercritical bisa mencapai US$ 2.000 kWh hingga US$ 3.000 kWh dengan menggunakan teknologi untuk penurun emisi, dan bergantung pada regulasi lingkunya.

Sedangkan untuk PLTU dengan teknologi biasa saja tanpa pengendalian emisi cenderung murah di US$ 0,05 per kWh hingga US$ 0,06 per kWh dengan harga batubara di kisaran US$ 30 per ton hingga US$ 40 per ton.

Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dia mengakui harga investasi pengembangannya masih cukup mahal, mengingat ada risiko tinggi pada eksplorasi. Ditambah lagi, eksplorasi juga perlu didukung infrastruktur yang mahal serta biaya buka lahan.

Hitungannya, sekitar 40% capex digunakan untuk biaya eksplorasi dengan kisaran US$ 3 juta hingga US$ 6 juta. Belum lagi, dari satu proyek, tingkat kesuksesan pengeboran hanya 30%, dengan biaya tahap eksplorasi bisa mencapai US$ 30 juta dengan masa pengembangan 11 tahun hingga 13 tahun.

"Perusahaan juga harus menunggu sekitar 10 tahun baru bisa mendapatkan pay back, sehingga harga rata-rata untuk PLTP berkisar US$ 0,08 kWh hingga US$ 0,12 kWh," paparnya.

Untuk capex teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), diungkapkan Fabby sudah mengalami penurunan sekitar 85% dari satu dekade yang lalu. Dengan begitu, saat ini harga listrik dari PLTS atap untuk size sekitar 72.000 meter persegi bisa di bawah US$ 0,08 per kWh dan semakin besar akan semakin murah lagi. 

Baca Juga: Menteri ESDM: PLTS dan PLTA bakal jadi tumpuan EBT

Sedangkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB) jika dibangu dalam skala besar bisa menawarkan harga yang lebih murah. Di mana Fabby mengungkapkan selama satu dekade terakhir harganya sudah mengalami penurunan hingga 55%. Hanya saja dari sisi biaya mobilisasi logistik cukup mahal.

"Jadi pengembangan EBT sebenarnya tidak mahal, tergantung teknologi apa yang digunakan," tekannya.

Di sisi lain, Fabby menyambut baik Rancangan Peraturan Presiden (Presiden) terkait tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari EBT. Ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong EBT keluar dari pulau Jawa, megingat biaya produksi PLN di luar Jawa cenderung mahal.

"Itu juga bisa membuka sumbatan investasi EBT yang dalam 5 tahun terakhir cenderung mandeg karena peraturan pemerintah. Harusnya gairah investasi ke depan meningkat dan tetap diperlukan kebijakan agresif, termasuk dalam hal birokrasi," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×