kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengembangan gasifikasi batubara perlu memperhatikan hal ini


Jumat, 07 Desember 2018 / 17:43 WIB
Pengembangan gasifikasi batubara perlu memperhatikan hal ini
ILUSTRASI. Conveyor belt Milik PT. Bukit Asam (PTBA)


Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong para pelaku industri batubara untuk melakukan hilirisasi salah satunya dengan gasifikasi. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi salah satu perusahaan yang berencana untuk membangun pabrik gasifikasi.

Sekretaris PTBA, Suherman mengatakan PTBA masih mengkaji lebih lanjut dengan mitra terkait kapasitas produksinya. Sebagai informasi, proyek ini merupakan joint venture emiten berkode saham PTBA ini dengan PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia, serta PT Chandra Asri Petrochemical.

Pabrik gasifikasi ini nantinya ada dua lokasi yaitu di Tanjung Enim dan Peranap. “Untuk pabrik di Tanjung Enim sekitar US$ 3 miliar dan untuk pabrik di Penarap sekitar US$ 2 miliar,” katanya pada Kontan.co.id, Jumat (7/12).

Proyek dimethyl ether ini nantinya akan mengonversi batubara ke gas, selain itu juga dapat menghasilkan pupuk. Berbeda dengan PTBA, PT Berau Coal Energy belum berencana membangun pabrik gasifikasi.

“Belum ada kajian terkait rencana pembangunan pabrik gasifikasi,” kata Corporate Secretary PT Berau Coal Energy, Gamal Hendrawan, Jumat (7/12).

Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo mengungkapkan guna membangun pabrik gasifikasi tentunya banyak aspek yang harus dipertimbangkan.

“Bukan saja parameter finansial tapi parameter teknik seperti cadangan, kualitas batubara, skala, off taker, serta kebutuhan air saat membangun gasifikai di lokasi. Jadi dengan pertimbangan itu justru kami mengusulkan sebaiknya dilakukan forum group discussion (FGD) terlebih dahulu,” paparnya pada Kontan.co.id, Jumat (7/11).

Ia menjelaskan mengenai usulan pemerintah untuk melakukan gasifikasi pada dasarnya dilakukan lantaran pemerintah ingin mengurangi kebutuhan impor gas.

“Dan tujuannya untuk mengurangi budget impor di tengah kondisi current account defisit. Akan tetapi beberapa hal yang perlu diketahui bahwa gasifikasi, apalagi DME adalah masuk ke wilayah chemical industri. Padahal perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dasarnya mining industri yang bertanggungjawab atas pemenuhan raw material dari hulu ke hilir,” jelasnya.

Selain itu, sambungnya, untuk membangun gasifikasi, tentu paramater kontrak perpanjangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) menjadi izin usaha pertambangan khusus operasi produksi.

“Selain itu harus dipertimbangkan juga mengenai masa berlaku IUPK, lokasi tambang, demand gas, Infrastruktur, besarnya cadangan, kualitas, dan aspek keuangan,” tuturnya.

Singgih menghimbau agar tidak buru-buru dipaksakan untuk melakukan gasifikasi, namun tidak berhasil dilaksanakan. Sehingga ia menilai jika melakukan FGD terlebih dahulu untuk menentukan masing-masing pilihan jenis pengolahan nilai tambang untuk batubara.

“Pada dasarnya semuanya tergantung dari kemajuan teknologi, kepentingan bagi pendapatan negara dan pasar. Tapi untuk batubara saat ini bisa dengan coal upgrading, coal power plant dengan teknologi super critical dan ultra supercritical, atau briket batubara. Namun kalau tujuannya untuk mengurangi impor LPG pilihan yang tepat gasifikasi. Hanya saja ada parameter-parameter yang harus dipertegas dahulu, dan FGD sebagai langkah terbaik untuk memilih yang terbaik,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×