Reporter: Sofyan Nur Hidayat |
JAKARTA. Para pengusaha plastik kemasan meminta pemerintah agar membatalkan rencana penerapan safeguard pada bahan baku plastik berupa polypropylene (PP). Jika safeguard diberlakukan maka industri plastik di dalam negeri akan kesulitan mendapatkan bahan baku. Maklum selama ini, produksi polypropylene di dalam negeri hanya mencukupi 60% dari total kebutuhan.
Ketua Asosiasi Pengemasan, Henky Wibawa mengatakan usulan safeguard hanya mengakomodir kepentingan industri hulu plastik. Sementara industri hilir tidak mendapatkan jaminan pasokan bahan baku plastik itu. "Kami menentang rencana pemberlakuan safeguard terhadap impor polypropylene," kata Henky, Selasa (17/5).
Henky mengatakan asosiasi pengemasan sedang menyusun surat penolakan rencana safeguard itu yang akan dikirim ke Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan. Jika kebijakan itu diberlakukan, menurutnya industri plastik tidak akan bisa bersaing dengan negara lain. Selain itu, kelangkaan plastik di dalam negeri akan memacu impor plastik hilir. "Yang diuntungkan industri pesaing karena mereka akan menaikkan harga," kata Henky.
Penolakan juga disampaikan oleh asosiasi produk hilir plastik lainnya yaitu Asosiasi Industri Kemasan Fleksibel Indonesia (Rotokemas). Ketua Umum Rotokemas, Felix S Hamidjaja mengatakan mereka sudah menyampaikan surat penolakan usulan safeguard atas impor polypropylene. "Kami menolak keras rencana itu, safeguard tidak layak diberlakukan," kata Felix.
Felix mengatakan pasokan bahan baku polypropylene belum bisa lepas dari ketergantungan impor. Bahkan jika Polytama kembali beroperasi pun, pasokan polypropylene di dalam negeri masih minus hingga 2014.
Kebutuhan bahan baku polypropylene untuk industri pengemasan, menurut Henky sekitar 1,2 juta ton per tahun. Namun selama ini yang bisa tercukupi oleh produksi di dalam negeri hanya 40% hingga 60%. Apalagi dengan tidak beroperasinya salah satu produsen yaitu Polytama yang memiliki kapasitas produksi terpasang 430.000 ton per tahun, maka defisit bahan baku bisa mencapai 75% atau sekitar 900.000 ton per tahun.
Rencana tindakan pengamanan atau safeguard itu awalnya diusulkan oleh Asosiasi Industri Aromatik, Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas) kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) pada akhir bulan Maret 2011. Mereka mengusulkan safeguard karena volume barang impor dari bahan baku polypropylene yaitu terpal, awning dan kerai matahari dari serat sintetik terus mengalami peningkatan hingga mengakibatkan kerugian industri di dalam negeri.
Wakil Ketua bidang Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik, Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas) Budi Susanto Sadiman mengatakan pihaknya sudah telanjur mengirimkan surat pengajuan pengenaan safeguard atas impor polypropylene. Namun setelah itu produsen polypropylene yaitu Polytama mengajukan penundaan penyelidikan usul safeguard. "Saya kira penyelidikan atas usul safeguard bisa ditunda, hingga Polytama beroperasi normal," kata Budi.
Menurut Budi pengajuan permohonan pemberlakuan safeguard sendiri dilakukan saat semua produsen polypropylene berproduksi secara normal. Saat itu, terjadi indikasi lonjakan impor hingga daya saing industri lokal berkurang. Namun saat ini Polytama sudah berhenti berproduksi dan diperkirakan baru aktif kembali pada bulan Juni 2011. Jika penyelidikan safeguard dilakukan maka selama tiga bulan, impor polypropylene akan dihentikan hingga menyebabkan industri plastik hilir di dalam negeri kesulitan bahan baku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News