Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan praktik dumping impor polypropylene (PP) dari delapan negara.
Penyelidikan dilakukan karena adanya indikasi produk impor dijual di bawah harga wajar pasar dan telah menimbulkan kerugian material bagi industri nasional.
Hal tersebut semakin tertekan oleh lonjakan volume dan harga impor. Adapun, delapan negara yang menjadi objek penyelidikan tersebut adalah China, Malaysia, Filipina, Arab Saudi, Korea Selatan, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
KADI memberikan kesempatan hingga 7 November 2025 kepada negara-negara tersebut untuk mengajukan pembebasan dari kemungkinan pengenaan BMAD.
Baca Juga: IMA: Diversifikasi Pasar Kunci Hadapi Bea Masuk Anti-Dumping China
Di tengah proses penyelidikan yang masih berlangsung, Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menegaskan urgensi langkah pemerintah untuk segera menetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiono, menyampaikan bahwa proses BMAD kini telah berada di tahap akhir.
“Setahu saya, BMAD saat ini sudah memasuki tahap penyelidikan keempat atau tahap akhir. Selanjutnya, kita tinggal menunggu draft untuk dibahas oleh tim tarif,” ujar Fajar dalam keterangan tertulis yang disiarkan pada Senin (24/11/2025).
Pelaku industri kini menunggu kejelasan waktu terkait kemungkinan pengenaan BMAD.
"Dalam kasus anti-dumping, besaran tarif yang dikenakan untuk masing-masing perusahaan akan ditentukan oleh tim tarif. Jadi, sampai saat ini belum ada timeline yang jelas,” imbuh Fajar.
Percepatan keputusan semakin mendesak karena utilisasi kapasitas produksi nasional dilaporkan telah turun di bawah 70%. Kondisi ini dapat berujung pada penutupan pabrik jika tidak ada intervensi kebijakan.
Utilisasi produksi saat ini turun di bawah 70%, yang berdampak pada pengurangan kapasitas produksi. Langkah pertama yang dilakukan oleh pelaku industri adalah menormalkan kondisi operasional agar tetap aman.
Namun apabila situasi ini terus berlanjut, Fajar mengungkapkan kemungkinan perusahaan terpaksa akan merumahkan sebagian pekerja.
"Saat ini saja sudah ada kebijakan kerja bergilir, satu minggu bekerja dari rumah dan satu minggu masuk kantor, dan dampaknya sudah mulai terasa. Jika kondisi memburuk, bukan tidak mungkin akan dirumahan sementara tanpa tunjangan tambahan, di mana pekerja hanya menerima gaji pokok. Kekhawatiran kami, pada tahap berikutnya dapat terjadi penutupan operasional dan PHK," ujar Fajar.
Baca Juga: Impor Produk dari China Kian Melonjak, APSyFI Minta Bea Masuk Anti-Dumping
Dalam kondisi pasar global yang bergerak sangat cepat, Inaplas berharap pemerintah mampu memberikan keputusan tepat waktu agar tidak menimbulkan kerugian lebih jauh.
Fajar pun menyoroti data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa ketergantungan impor masih sangat besar.
Total impor sektor plastik dan barang jadi plastik Indonesia mencapai US$ 10,59 miliar pada tahun 2024.
Menurut Fajar, kondisi ini memperkuat urgensi pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi BMAD agar industri nasional tidak terus ditekan oleh arus impor yang semakin menguat.
"Dalam situasi dengan dinamika yang sangat cepat seperti saat ini, kami berharap pemerintah dapat mengambil keputusan secara tepat waktu, sehingga aspek perlindungan, pengamanan, dan keseimbangan dapat benar-benar tepat sasaran. Jika prosesnya terlalu lama, industri bisa terlanjur terdampak berat, dan sektor lainnya juga bisa ikut terganggu,” tandas Fajar.
Selanjutnya: Strategi Harga Global Berubah, Perusahaan Kurangi Kenaikan Tarif
Menarik Dibaca: Prediksi Manchester United vs Everton (25/11), Laga Penting di Old Trafford
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













