Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam rangka memperbaiki peringkat kemudahan berusaha atau ease of doing business (EODB) sesuai amanat Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) ke XV, Kementerian Perdagangan melakukan penggeseran pengawasan larangan dan pembatasan (lartas)
impor dari border ke post border.
Artinya dengan aturan ini, pemeriksaan atas pemenuhan persyaratan impor dilakukan setelah melalui Kawasan Pabean. Perubahan ini dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang sudah berlaku pada 1 Februari 2018.
"Ini amanat dari tim tata niaga yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Ekonomi," ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan kepada KONTAN, Senin (12/2).
Sekjen Kementerian Perdagangan (Kemendag) Karyanto Suprih menambahkan, tujuan pergeseran lartas ke post border adalah untuk mempermudah impor bahan baku.
Hanya saja, sejumlah pelaku industri mengeluhkan pemberlakuan aturan tersebut. Baik itu dari industri ban dan baja.
Aziz Pane, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) menjelaskan aturan tersebut merugikan industri dalam negeri. Karena ketentuan pengecekan dari Kementerian Perindustrian dihapus dan izin impor hanya langsung lewat Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.
"Ini membuat iklim investasi buruk. Karena investasi yang masuk hanya berhenti di BKPM saja karena peraturan di Indonesia cepat sekali berubah," kata Aziz kepada KONTAN, Minggu (11/2).
Menurutnya ada dua perusahaan China, satu perusahaan Taiwan, satu perusahaan India dan satu perusahaan ban asal Hongkong yang memutuskan menahan diri untuk investasi.
Selain dampak investasi, industri ban vulkanisir dan industri UMKM yang awalnya berkembang dalam beberapa tahun terakhir, khawatir terhambat karena mudahnya impor masuk. Akibatnya, industri dalam negeri jadi kalah saing.
"Kita lihat tiga bulan ini bagaimana kondisi neraca perdagangan ban. Apakah jadi lebih baik atau lebih buruk," kata Aziz.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Hidayat Triseputro berharap, peraturan baru ini dapat mengatur secara teknis lalu lintas baja yang masuk ke Indonesia.
"Karena baja itu beda dengan komoditas. Produk baja banyak varian dan spesifikasinya, sehingga perlu kontrol yang baik," ucap Hidayat kepada Kontan co.id, Jumat (9/2). Apalagi, saat ini importir baja dari China acapkali ditemukan melakukan pengalihan nomor HS produk baja.
Misalnya, Hidayat mencontohkan, produk baja karbon diberi kandungan alloy sedikit sehingga pencantumannya sebagai baja alloy dengan bea masuk 0%. "Jadinya perbedaan harga bahkan bisa lebih murah 28%-30% ketimbang baja produksi lokal," imbuhnya.
Saat ini, Hidayat mengaku, banyak pelaku usaha baja mulai dari hulu ke hilir mempertanyakan implementasi kebijakan yang mulai berlaku awal Februari 2018 ini. "Oleh karena itu, kami siap jika diminta (oleh Kemdag) untuk menerangkan persoalan teknikal ini," terangnya.
Intania Prionggo, Public Relations PT Pertamina Lubricants mengatakan pihaknya menghargai kebijakan pemerintah. "Dan di era persaingan yang lebih ketat ini justru memacu kami untuk terus meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk Pertamina," kata Intania kepada KONTAN, Senin (12/2).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News