kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Pengusaha Perikanan Enggan Manfaatkan Tarif Nol Persen


Selasa, 27 Juli 2010 / 14:26 WIB
Pengusaha Perikanan Enggan Manfaatkan Tarif Nol Persen


Reporter: Asnil Bambani Amri |


JAKARTA. Entah kenapa, pengusaha perikanan Indonesia enggan menggunakan tarif nol persen untuk ekspor ke China dalam kerangka kerjasama Asean China Free Trade Agreement (ACFTA).

Lihat saja, ada banyak pengusaha perikanan Indonesia yang melakukan ekspor ke China tanpa menggunakan Surat Keterangan Asli (SKA) Form E atau SKA yang digunakan untuk mendapatkan fasilitas nol persen dalam kerjasama ACFTA. Bila tidak menggunakan SKA Form E, maka kena pungutan sebesar 10-15%.

"Dari nilai ekspor US$ 70 juta tahun 2008, hanya US$ 39 juta saja yang melakukan transaksi dengan SKA Form E atau yang mendapatkan fasilitas nol persen Dari ACFTA," kata Saut Hutagalung, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Selasa (27/7).

Saut menyebutkan, kerangka kerjasama ACFTA produk perikanan mendapatkan tarif nol persen sebagian sejak 2004 dan sebagian lagi tahun 2006. Produk yang sudah dinyatakan dapat bea masuk nol persen untuk ekspor ke China itu adalah ikan segar dan ikan dingin beku. Sedangkan ikan olahan mendapatkan tarif nol persen sejak Januari 2010 lalu.

Hitung punya hitung, produk perikanan senilai US$ 31 juta masih masuk ke China dengan membayar bea masuk normal. "Artinya banyak pengusaha perikanan yang masih membayar bea masuk tersebut karena tidak menggunakan SKA Form E," kata Saut.

Ketika ditanya penyebabnya, Saut mengaku belum mengetahui banyak alasan kenapa eksportir perikanan Indonesia tidak menggunakan SKA Form E tersebut. Hanya saja, ia mengindikasikan minimnya sosialisasi mengenai fasilitas nol persen ini. Selain itu, bisa juga ada kesepakatan bisnis antara pembeli dari China dengan eksportir Indonesia.

"Yang jelas eksportirnya rugi, seharusnya tidak perlu bayar bea masuk akhirnya mereka bayar," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×