kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha tekstil: Perang dagang masih memberi imbas pada perkembangan manufaktur


Selasa, 03 September 2019 / 19:57 WIB
Pengusaha tekstil: Perang dagang masih memberi imbas pada perkembangan manufaktur
ILUSTRASI. Manufaktur Indonesia pada Agustus 2019 masih terus menurun dan berada di posisi 49,0


Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Agustus 2019 masih terus menurun dan berada di posisi 49,0. Menurut IHS Markit, penurunan pada Agustus 2019 ini merupakan penurunan paling tajam dalam kurun waktu dua tahun lebih.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia menganggap ini sebagai hal yang wajar, menimbang masih berlanjutnya perang dagang antara Amerika dan China hingga kini.

"Trade war ini berimbas pada turunnya seluruh harga komoditas, karena China sebagai pengguna bahan baku mentah dari komoditas mendadak mengurangi produksi sehingga membuat harga komoditas-komoditas turun," ujar Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat saat dihubungi Kontan.co.id pada Selasa (3/9).

Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia bulan Agustus 2019 turun ke posisi 49,0

Komoditas yang mengalami penurunan harga menurut Ade adalah batubara, karet, dan juga barang komoditas lainnya seperti nikel, basin, maupun timah.

Dari dalam negeri, Ade menganggap masyarakat juga belum menganggap produk manufaktur menjadi kebutuhan primer. Saat ini, yang masih menjadi prioritas masyarakat adalah masih kesehatan, sandang pangan, kendaraan maupun tempat tinggal, dan biaya sekolah.

Selain dari faktor luar dan juga dari sisi masyarakat, Ade juga menilai pemerintah saat ini masih membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya menekan dunia usaha.

"Penekanannya macam-macam, ada yang harus sertifikasi banyak hal yang jumlahnya ratusan, kemudian juga harus memenuhi baku mutu limbah dengan standard yang ekstrem, bahkan lebih ekstrem dari Jepang," tambah Ade.

Baca Juga: Terbiasa dengan perang dagang dan Brexit, bursa Asia menguat tipis

Selain itu, langkah-langkah insentif pajak yang dilakukan pemerintah masih dianggap Ade sebagai langkah pemerintah untuk "kejar setoran" dan belum tepat untuk diimplikasikan bila kondisi PMI manufaktur Indonesia masih lesu.

Oleh karena itu, Ade berharap pemerintah untuk selanjutnya bisa lebih bijaksana dalam membuat kebijakan sehingga tidak membebani dunia usaha.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×