Reporter: Filemon Agung | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana terkait dengan kewenangan pemerintah daerah (pemda) dalam perizinan dan pengelolaan tambang minerba yang seolah akan diambil alih oleh pemerintah pusat berpotensi menemui sejumlah masalah.
Asal tahu saja, hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law. Kepala Badan Geologi Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Banten Deri Deriawan menuturkan, berkaca dari pengalaman ketika terjadi peralihan wewenang dari kabupaten/kota ke pemerintah provinsi, pihaknya cukup kalang kabut. "Regulasinya sudah bagus, namun implementasi yang masih kurang dan kalau dikerucutkan masalah terletak pada pengawasan dan pengendalian," kata Deri, Senin (24/2).
Menurut Deri, dalam masa peralihan kala itu, ada empat indikasi masalah yang dihadapi yakni kebocoran penerimaan untuk negara, masalah lingkungan, konflik sosial serta praktik pertambangan tanpa izin. Kendati demikian, Deri mengungkapkan pihaknya belum memiliki hitungan teknis soal besaran kebocoran penerimaan negara akibat lemahnya pengawasan.
Baca Juga: RUU Omnibus Law Cipta Kerja Memantik Kontroversi di Sektor ESDM
Deri mencontohkan, dalam pengawasan, pihaknya tidak bisa memastikan volume produksi tambang yang dimuat oleh setiap perusahaan. Selain itu, segala bentuk pengawasan masih dilakukan berdasarkan laporan administratif dan tinjauan lapangan seadanya.
"Misalnya contoh batuan andesit, kami tidak nongkrongin di situ berapa volume yang dimuat. Kami masih andalkan yang bersifat administratif semisal laporan mereka dan volume tergali tidak diukur secara mendetail," terang Deri.
Menurut dia, dibutuhkan metode yang tepat untuk meningkatkan pengawasan. Tak sampai di situ, Deri menjelaskan lemahnya pengawasan juga disebabkan oleh minimnya sumber daya manusia baik dari sisi jumlah maupun kualitas.
Baca Juga: Kata asosiasi tambang soal wacana sentralisasi perizanan tambang di omnibus law
Deri mengatakan, semula jumlah inspektur tambang untuk sekitar 5.000 hingga 6.000 perusahaan sekitar 1.000 orang. Namun dalam kenyataannya jumlah tersebut sulit dicapai.
Untuk Provinsi Banten, tercatat hanya ada dua inspektur tambang untuk sekitar 200 perusahaan. "Sebetulnya untuk pengawasan sudah di pusat melalui inspektur tambang yang merupakan pegawai pusat. Namun, mereka belum dilengkapi fasilitas sarana dan prasarana dari pusat, kami di daerah menyediakan semampunya," ungkap Deri.
Di sisi lain, Kordinator Nasional Publish What You Pay Maryati Abdullah bilang perlu ada kesiapan dari pemerintah pusat dalam wacana peralihan wewenang ini. "Integrasi dan sentralisasi perizinan ini harus diikuti oleh kesiapan sistem yang ada di pusat, termasuk database yang kuat," terang Maryati.
Baca Juga: Begini catatan pengamat soal wacana sentralisasi perizinan tambang di omnibus law
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan hingga saat ini pihaknya belum mengetahui skema pasti yang akan diadopsi dalam peralihan ini.
Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan akan ada pemberian wewenang kepada daerah melalui delegasi. "Kami belum tahu, kita tunggu aja dulu bagaimana proses omnibus law dan penyelesaian RUU Minerba. Memang dikatakan di situ ke pemerintah kan, pemerintah pusat tapi kan ada kemungkinan bagaimana pendelegasian dari pusat ke daerah. Kita tunggu daripada kita menduga-duga," ujar Irwandy.
Asal tahu saja, wacana sentralisasi perizinan ini dapat ditelisik dari dihapuskannya Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 37 dalam UU Minerba. Sebagai informasi, Pasal 7 UU Minerba menerangkan tentang kewenangan pemerintah provinsi (pemprov) dalam pengelolaan pertambangan minerba.
Baca Juga: Omnibus Law Berikat Karpet Merah Bagi Pebisnis Batubara
Pasal 8 mengatur tentang kewenangan pemerintah kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot) dalam pengelolaan pertambangan minerba. Sedangkan Pasal 37 mengatur pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dalam Pasal 37 UU Minerba, IUP diberikan oleh: (a) bupati/walikota apabila Wilayah IUP (WIUP) berada dalam satu wilayah kabupaten/kota; (b) gubernur apabila WIUP berada dalam lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat; dan (c) menteri, apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat.
Sebelumnya, pasca terbitnya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pada tahun 2016 perizinan IUP dialihkan dari pemerintah kabupaten/kota ke tangan pemprov. Namun, di dalam omnibus law, kewenangan ditarik ke pemerintah pusat di bawah kekuasaan Presiden.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News