Reporter: Agung Hidayat | Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Barito Pacific Tbk (BRPT) berambisi menyeimbangkan lini bisnisnya, baik di segmen energi maupun petrokimia. Karena itu, perusahaan tengah merencanakan beberapa proyek jangka panjang.
Di segmen energi, BRPT menggenjot bisnis usai merampungkan akuisisi 66,67% saham produsen listrik panas bumi terbesar di Indonesia, Star Energy pada pertengahan tahun ini. Selama ini diketahui bahwa kontribusi utama pendapatan BRPT dari segmen petrokimia melalui PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) yakni 97%.
Agus Salim Pangestu, Direktur Utama BRPT berharap, segmen energi maupun petrokimia bisa berkontribusi seimbang bagi kinerja keuangan BRPT.
Sayangnya, Agus masih enggan merinci capaian kinerja keuangan Star Energy di paruh pertama tahun ini, lantaran masih menunggu audit laporan keuangan 30 Juni 2018.
"Audited statement nanti setelah laporan keuangan semester I keluar, harusnya minggu depan sudah dirilis," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (2/9). Nilai akuisisi Star Energy cukup besar, mencapai Rp 7,4 triliun yang dirogoh dari aksi right issue senilai Rp 8,9 triliun.
Ke depannya, Agus berharap BRPT bakal menjadi perusahaan sektor energi terintegrasi dengan sumber pendapatan yang terdiversifikasi. Apalagi, peluang ekspansi bisnis di sektor energi kian terbuka.
BRPT juga berencana menambah kapasitas pembangkit di Salak Binary sebesar 15 megawatt (MW) pada 2021. Saat ini, sudah beroperasi enam unit berkapasitas 377 MW.
Kemudian, ada proyek patungan dengan PT Indonesia Power Jawa 9 dan Jawa 10 sebesar 2 x 1.000 MW, yang ditargetkan beroperasi pada 2023.
Pada 2024, BRPT akan menambah satu unit pembangkit listrik di Wayang Windu sebesar 60 MW. Sekarang, di sana sudah ada dua unit pembangkit berkapasitas 227 MW. BRPT juga berniat membangun sumber geotermal di Hamiding dan Sekincau, yang diperkirakan rampung tahun 2024.
Sedangkan untuk sektor petrokimia, selain lewat anak usahanya Chandra Asri, BRPT dikabarkan tengah menggarap lahan seluas 1.000 hektare di sekitaran proyek pelabuhan Patimban, Jawa Barat. Agus mengatakan proyek Patimban masih dalam tahap perencanaan.
"Kami masih dalam design phase," sebut Agus. Adapun rincian ekspansi dan lini produksi yang bakal digarap, perusahaan masih belum mempublikasikannya. Yang jelas, menurut Agus, proyek tersebut direncanakan dapat rampung di 2025 nanti.
"Tapi kalau Chandra Asri soal ekspansi komitmen untuk terus sampai 2020. Apalagi semuanya sudah fully funded dan mayoritas sedang dibangun," urai Agus. Menurut dia, meski diterpa pelemahan kurs dan kenaikan bahan baku, peluang bisnis di petrokimia masih sangat cerah.
Sebab, industri petrokimia adalah industry import substitute. Di mana saat ini Indonesia masih impor 40%-50% produk petrokimia, sehingga keberadaan industri hulu seperti BRPT dan TPIA sangat membantu mengurangi keterbatasan itu.
Menilik laporan keuangan perseroan, sampai kuartal I 2018 BRPT memperoleh pendapatan bersih sebesar US$ 697,54 juta. Pendapatan bersih naik 9,76% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yaitu sebesar US$ 635,54 juta.
Pendapatan BRPT naik disokong oleh bertambahnya pendapatan di sektor petrokimia sebesar 21,8%, sewa tanki dan dermaga naik 10,2%, serta pendapatan dari sewa propeti dan hotel yang melonjak 87%. Porsi anak usaha TPIA sangat besar di kuartal I tersebut, sebanyak US$ 695 juta atau 99% dari pendapatan bersih BRPT.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News