kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perlunya pengawasan harga rokok di pusat dan daerah


Jumat, 26 Februari 2021 / 15:11 WIB
Perlunya pengawasan harga rokok di pusat dan daerah
ILUSTRASI. Ilustrasi untuk harga rokok.


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca resmi diberlakukannya kenaikan cukai hasil tembakau pada 1 Februari silam, Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso mengatakan pengawasan rokok di pasaran harus dengan kolaborasi Bea Cukai pusat dan daerah.

Hal ini penting mengingat harga rokok yang terjangkau dan terbilang murah di pasaran sedang marak, walaupun cukai hasil tembakau telah naik dari tahun ke tahun.

“Sebetulnya untuk pengawasan itu Bea Cukai di pusat, dan tentunya di daerah-daerah juga. Jadi termasuk misalnya dari (dinas) perdagangan di daerah dan dari pemerintah daerah ikut mengawasi mestinya,” ujar Sumarjati dalam keterangannya, Jumat (26/2).

Dia mengatakan rokok murah merupakan hambatan untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia, khususnya perokok anak-anak. Artinya, segala upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih belum kelihatan hasilnya.

Baca Juga: Ekspor menggeliat, Kemenkeu catat penerimaan Bea Keluar melesat 923%

“Menteri keuangan menaikkan cukai rokok 12,5% sehingga harga rokok sedikit naik. Penerimaan APBN juga naik. Tetapi itu dari kami, rasanya kurang tinggi karena rokok masih terjangkau,” ujarnya lagi.

Terlebih pada praktiknya peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk harga rokok ini banyak dilanggar oleh perusahaan dengan menjual produknya di bawah batasan harga yang sudah ditetapkan. Yang akhirnya menyebabkan harga rokok tidak naik secara signifikan sekalipun cukai rokok telah naik.

Saat pemerintah punya target untuk menurunkan prevalensi perokok anak sesuai dengan RPJMN 2020-2024 dari 9,1% menjadi 8,7%, maka semakin sulit dicapai ketika di lapangan harga rokok masih terjangkau.

Dari segi kebijakan, pemerintah telah menentukan harga rokok lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 di mana harga transaksi pasar (HTP) atau harga di pasaran diatur dengan batas 85% dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum pada pita cukai.

“Kenaikan cukai mungkin menurunkan jumlah rokoknya, tetapi yang merokok tetap banyak,” ujar Sumarjati. Dia khawatir angka perokok di Indonesia yang terus meningkat ini akan mengancam bonus demografi yang dimiliki Indonesia.

“Sebetulnya bonus demografi itu kan sudah ada. Tetapi yang kita harapkan kan sebetulnya window opportunity, ada peluang keberuntungan dari bonus demografi itu. Itu ada syaratnya yaitu penduduk usia produktif itu berkualitas,” katanya.

Baca Juga: Harga Saham Emiten Rokok Sudah Turun Banyak, tapi Valuasinya Tak Bisa Dibilang Murah

Sumarjati menyayangkan jika kelak penduduk usia produktif alias bonus demografi pada 2030 tidak akan memberikan keuntungan karena sejak anak-anak sudah merokok.

“Mereka tidak produktif, apalagi ada pandemi Covid-19 sekolahnya juga terbengkalai. Jadi bayangkan kualitasnya bagaimana,” katanya.

Dia mengatakan betapa pentingnya kualitas sumber daya manusia untuk memahami bahaya rokok sehingga edukasi dan sosialisasi harus tetap dilakukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×