kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Permen ESDM ancam pengembangan EBT


Jumat, 10 Februari 2017 / 14:28 WIB
Permen ESDM ancam pengembangan EBT


Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Potensi energi baru terbarukan (EBT) yang luar biasa besar terancam tidak bisa dioptimalkan. Hal ini menyusul terbitnya Permen ESDM Nomor 12 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan untuk Penyediaan Listrik.

Pakar geothermal Universitas Indonesia, Yunus Daud menilai, pembatasan harga EBT maksimal 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) seperti tertuang dalam Permen tersebut akan membuat para investor menjadi mundur. “Bagaimana mau berinvestasi, jika dibatasi begitu,” kata Yunus dalam keterangan, Jumat (10/2).

Mundurnya para investor ini membuat negara juga berpotensi mengalami kerugian besar. “Negara berpotensi rugi, dalam arti pengembangan energi baru terbarukan akan mengalami perlambatan. Hal ini adalah ironi, karena sebelumnya gairah untuk mengembangkan EBT, termasuk panas bumi, sangatlah besar,” kata Yunus.

Kondisi demikian, menurut Yunus, memang sangat merugikan. Terlebih jika melihat target pemerintah untuk mencapai bauran EBT sebesar 23% pada 2025.

Dalam pandangan Yunus, akan semakin sulit bagi pemerintah untuk mengejar target tersebut, jika Permen Nomor 12 tahun 2017 tetap diberlakukan. “Padahal, kita semua tentu berharap target itu tercapai, bahkan kalau bisa lebih. Namun dengan Permen tersebut, tentu ketergantungan kepada bahan bakar fosil akan kembali besar,” kata Yunus.

Sebelumnya, pemerintah memang bertekad menggenjot pengembangan EBT yakni melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Tidak tanggung-tanggung, dalam kebijakan tersebut, target bauran EBT pada 2020 disebut sebesar 17%. Sedangkan, pada 2025 mendatang, pemanfaatan EBT diharapkan sampai 23%.

“Sebenarnya, kebijakan sebelumnya sudah membuat iklim investasi lebih baik. Terbukti kan sudah banyak investor berminat mengembangkan geothermal. Tetapi dengan keadaan seperti ini, mereka bisa jadi mundur. Jadi apa mungkin target 2025 bisa tercapai?” lanjut dia.

Yunus memang pantas menyayangkan kebijakan tersebut. Terlebih, melihat potensi EBT yang sangat luar biasa dan diharapkan bisa menggantikan energi fosil di masa mendatang. Potensi energi panas bumi di Indonesia, misalnya, mencapai 27 GWe dan sangat erat kaitannya dengan posisi Indonesia dalam kerangka tektonik dunia.

Bahkan saking melimpahnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, sampai menyebut bahwa panas bumi merupakan sumber energi kearifan lokal Indonesia. “Energi ini memang sangat spesifik dan ada di Indonesia dalam jumlah besar. Tapi kalau tidak dikelola dengan baik, akhirnya bisa tidak termanfaatkan,” lanjut Yunus.

Guna mencari solusi, menurut Yunus, tak ada jalan lain, kecuali Menteri ESDM harus duduk bersama dengan para stakeholder, baik pengusaha maupun BUMN.

Dari sana Menteri ESDM bisa mendapat masukan, kondisi seperti apa yang bisa membangkitkan kembali gairah pengembangan EBT. Karena jangan lupa,  EBT merupakan energi masa depan yang diharapkan bisa menjadi alternatif pengganti energi fosil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×