Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi mengatakan, pengembangan panas bumi dalam beberapa tahun terakhir masih kurang menggembirakan. Masalah risiko pengembangan serta keekonomian tarif dan proyek menjadi tantangan utamanya.
Pada tahun lalu, kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) bertambah sekitar 180 megawatt (MW) sehingga total menjadi 2.130,6 MW. Sedangkan pada 2020 ditargetkan ada tambahan kapasitas PLTP 140 MW pada akhir tahun nanti.
Jumlah pemanfaatan panas bumi untuk pembangkitan listrik itu masih mini. Padahal, kata Priyandaru, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, yakni sekitar 25 Gigawat hour (GWh). Namun baru sekitar 8% yang bisa dimanfaatkan.
"Potensi yang masih besar ini sudah selayaknya diusahakan secara optimum," ujar Priyandaru.
Oleh sebab itu, dia berharap Perpres EBT yang sedang disusun pemerintah bisa menjawab tantangan tersebut, dan bisa segera diberlakukan. Mengenai perpres ini, Priyandaru mengatakan bahwa pelaku usaha mengharapkan dua hal.
Baca Juga: Hingga Mei 2020, bauran energi untuk produksi listrik masih dikuasai batubara
Pertama, bisa memberikan tarif keekonomian yang wajar sesuai dengan risiko yang diambil oleh pengembang. Kedua, perpres ini memberikan kepastian regulasi dan kepastian bahwa insentif-insentif yang dijanjikan pemerintah bakal terlaksana.
"Ujung-ujungnya adalah kepastian proyek. Kalau kita dijanjikan mendapatkan insentif A, B, C, kemudian kita akan menghitung. Bagi pengembang yang penting keekonomian masuk, dan ada kepastian untuk mendapatkan semua yang dijanjikan pemerintah, jadi sifatnya entilement,," kata Priyandaru.
Kata dia, risiko dari sisi eksplorasi memang paling besar. Namun, ada sejumlah risiko lainnya seperti risiko pembeli listrik dan risiko regulasi. Menurutnya, risiko terkait dengan sumber daya bisa saja diambil oleh pengembang. Namun risiko di luar itu seperti risiko kepastian harga dan pembelian listrik oleh PLN seharusnya tidak ditanggung pengembang.
"Harusnya di-back up oleh keterlibatan pemerintah, menggaransi bahwa PLN pasti akan memberi hasil pekerjaan kita dengan harga yang sudah disepakati di depan," terang Priyandaru.
Menurutnya, sejumlah insentif dalam rancangan perpres ini, seperti pengeboran eksplorasi oleh pemerintah, merupakan suatu upaya baru yang cukup maju dalam mengembangkan panas bumi. Setelah Perpres terbit, Priyandaru berharap ada Peraturan Menteri (Permen) ESDM atau aturan tururan lainnya yang bisa lebih mendorong investasi dan pengembangan panas bumi di Indonesia.
"Kita berharap produk akhirnya akan bisa memberikan daya tarik bagi pengembang untuk tetap melanjutkan investasi atau memaulai yang baru. Karena resources panas bumi yang ada di Indonesia sangat seksi dan menjanjikan," ujarnya.
Baca Juga: Realisasi investasi listrik masih 33,22%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News