Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap peraturan presiden (perpres) tentang pembelian tenaga listrik energiĀ terbarukan (EBT) oleh PT PLN (Persero) bisa selesai pada bulan Agustus ini.
Perpres ini diklaim bakal memberikan dorongan yang positif bagi pengembangan EBT dalam bauran kelistrikan. Pasalnya, perpres ini akan mengatur formula tarif listrik dari sumber EBT agar bisa lebih kompetitif.
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari mengatakan, melalui perpres ini pemerintah memberikan sejumlah insentif bagi pengembangan listrik EBT, termasuk yang bersumber dari panas bumi.
Kata dia, pemerintah bakal memberikan insentif untuk mengurangi risiko pengembang sehingga harga listrik pun bisa ditekan. Bentuk insentif yang bakal diberikan antara lain berupa akuisisi data melalui pengeboran eksplorasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan perpres tentang harga listrik EBT bisa terbit Agustus 2020
Dengan ini, risiko eksplorasi bakal berkurang, lantaran pelaku usaha sudah memiliki gambaran potensi sumber daya di wilayah kerja panas bumi (WKP) yang ditawarkan. "Sehingga WKP bisa segera dikembangkan. Ini mempercepat, misalkan yang tadinya butuh waktu 10 tahun (pengembangan panas bumi hingga beroperasi/COD) nanti paling lama lima tahun sudah COD. Kita harapkan begitu," kata Ida dalam konferensi pers virtual yang digelar Kamis (6/8).
Lebih lanjut, Ida menyebut, meski pengembangan panas bumi sudah mendapatkan insentif fiskal, namun Kementerian ESDM tetap mengajukan insentif tambahan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Insentif yang diajukan berupa tax holiday dan tax allowance.
Bentuk insentif lain yang disoroti ialah kompensasi yang akan diberikan pemerintah atas biaya eksplorasi pengembang. Namun, Ida menekankan bahwa kompensasi ini akan diberikan untuk pengembang yang sudah mendapatkan Izin Panas Bumi (IPB) tetapi belum melakukan kontrak jual-beli listrik Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN.
Sebab, harga listrik yang ada di erpres ini mengacu pada WKP baru yang sudah terlebih dulu dilakukan eksplorasi oleh pemerintah. "Nah, bagaimana dengan WKP yang sudah kita berikan IPB kepada pengembang, tapi mereka belum ber-PPA dengan PLN? Inilah yang akan diberikan kompensasi biaya eksplorasi, karena mereka akan melakukan eksplorasi sendiri," jelas Ida.
Selain kompensasi pada biaya eksplorasi tersebut, Kementerian ESDM juga mengusulkan adanya kompensasi jika tarif yang ada di perpres lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan (BPP) pembangki listrik di wilayah.
"Bila tarif di dalam rancangan perpres ini lebih tinggi dari BPP, pemerintah akan membayar gap antara BPP dengan tarif yang ada di rancangan perpres ini. Ini salah satu insentif yang kita usulkan," ujar Ida.
Baca Juga: Bauran pembangkit EBT masih 14%, begini strategi PLN untuk meningkatkannya
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi mengatakan, pengembangan panas bumi dalam beberapa tahun terakhir masih kurang menggembirakan. Masalah risiko pengembangan serta keekonomian tarif dan proyek menjadi tantangan utamanya.
Pada tahun lalu, kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) bertambah sekitar 180 megawatt (MW) sehingga total menjadi 2.130,6 MW. Sedangkan pada 2020 ditargetkan ada tambahan kapasitas PLTP 140 MW pada akhir tahun nanti.
Jumlah pemanfaatan panas bumi untuk pembangkitan listrik itu masih mini. Padahal, kata Priyandaru, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, yakni sekitar 25 Gigawat hour (GWh). Namun baru sekitar 8% yang bisa dimanfaatkan.
"Potensi yang masih besar ini sudah selayaknya diusahakan secara optimum," ujar Priyandaru.
Oleh sebab itu, dia berharap Perpres EBT yang sedang disusun pemerintah bisa menjawab tantangan tersebut, dan bisa segera diberlakukan. Mengenai perpres ini, Priyandaru mengatakan bahwa pelaku usaha mengharapkan dua hal.
Baca Juga: Hingga Mei 2020, bauran energi untuk produksi listrik masih dikuasai batubara
Pertama, bisa memberikan tarif keekonomian yang wajar sesuai dengan risiko yang diambil oleh pengembang. Kedua, perpres ini memberikan kepastian regulasi dan kepastian bahwa insentif-insentif yang dijanjikan pemerintah bakal terlaksana.
"Ujung-ujungnya adalah kepastian proyek. Kalau kita dijanjikan mendapatkan insentif A, B, C, kemudian kita akan menghitung. Bagi pengembang yang penting keekonomian masuk, dan ada kepastian untuk mendapatkan semua yang dijanjikan pemerintah, jadi sifatnya entilement,," kata Priyandaru.
Kata dia, risiko dari sisi eksplorasi memang paling besar. Namun, ada sejumlah risiko lainnya seperti risiko pembeli listrik dan risiko regulasi. Menurutnya, risiko terkait dengan sumber daya bisa saja diambil oleh pengembang. Namun risiko di luar itu seperti risiko kepastian harga dan pembelian listrik oleh PLN seharusnya tidak ditanggung pengembang.
"Harusnya di-back up oleh keterlibatan pemerintah, menggaransi bahwa PLN pasti akan memberi hasil pekerjaan kita dengan harga yang sudah disepakati di depan," terang Priyandaru.
Menurutnya, sejumlah insentif dalam rancangan perpres ini, seperti pengeboran eksplorasi oleh pemerintah, merupakan suatu upaya baru yang cukup maju dalam mengembangkan panas bumi. Setelah Perpres terbit, Priyandaru berharap ada Peraturan Menteri (Permen) ESDM atau aturan tururan lainnya yang bisa lebih mendorong investasi dan pengembangan panas bumi di Indonesia.
"Kita berharap produk akhirnya akan bisa memberikan daya tarik bagi pengembang untuk tetap melanjutkan investasi atau memaulai yang baru. Karena resources panas bumi yang ada di Indonesia sangat seksi dan menjanjikan," ujarnya.
Baca Juga: Realisasi investasi listrik masih 33,22%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News