Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Rencana kerja sama pembangunan kilang minyak dan petrochemical Pertamina dan Saudi Aramco di Tuban , Jawa Timur terus berlanjut.
Senior Vice President Business Development PT Pertamina Iriawan Yulianto mengatakan perusahannya dan Saudi Aramco masih mencari lahan di Tuban baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun milik BUMN yang bisa dibeli dengan harga wajar.
"Kita melihat lahan sekitar kilang TPPI (Trans Pacific Petrochemical Indotama ).Pembicaraannya tetap jalan ,"ujar Iriawan Yulianto, Rabu (3/12).
Menurut Iriawan Yulianto, Pertamina enggan membeli tanah milik penduduk sekitar karena harganya sudah sangat tinggi sejak adanya pengumuman rencana pembangunan kilang di kawasan itu.
Harga tanah yang melonjak tajam itu membuat keekonomian pembangunan kilang tidak tercapai. "Kita cari tanah milik pemerintah atau BUMN. Kalau bisa beli, kita beli, kalau gak kita sewa," bebernya.
Asal tahu saja, pada tahun 2012 lalu Pertamina dan Saudi Aramco sudah menandatangani memorandum of understanding untuk membangun kilang minyak yang akan mengolah minyak mentah menjadi bahan bakar minyak (BBM) dan bahan petrokimia dengan kapasitas 300.000 barel per hari.
"Bisa sampai 400.000 barel per hari tergantung hasil studinya,"jelas Iriawan Yulianto.
Besaran investasi untuk pembangunan kilang minyak ini, kata dia masih dalam perhitungan Pertamina dan Saudi Aramco. Hanya saja, secara umum untuk membangun kilang baru dengan kapasitas 300.000 barel per hari dibutuhkan dana sekitar US$ 10 miliar. "Kalau ditambah Petrokimia bisa lebih dari US$ 10 miliar,"tegas dia.
Jika persiapan awal ini berjalan lancar, maka proses konstruksi kilang bisa dimulai pada tahun 2019 atau 2020. Pembangunan kilang itu sendiri akan memakan waktu 4 sampai 5 tahun dan ditargetkan tuntas pada tahun 2025 nanti.
Sejauh ini, kata Iriawan Yulianto, Saudi Aramco masih meminta insentif sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. "Sebenarnya belum ada permintaan insentif yang aneh-aneh masih sesuai peraturan pemerintah," jelas dia.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan mengatakan selama ini memang sudah ada peraturan terkait insentif. Hanya saja, investor sering kali meminta insentif tambahan. Karena itu, Badan Kebijakan Fiskal masih harus mengkaji permintaan tersebut.
Di sisi lain, pembangunan kilang di Indonesia merupakan sesuatu yang mendesak. Hal ini karena kilang-kilang minyak yang ada di Indonesia saat ini sudah sangat tua dan tidak insentif.
Akibatnya Indonesia harus mengimpor BBM dalam jumlag besar sehingga mengganggu neraca perdagangan. "Pembangunan kilang ini bisa membantu dari sisi fiskal maupun dari sisi neraca perdagangan,"tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News