Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia dan Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman) yang tergabung dalam industri hasil tembakau Indonesia menyatakan menyesalkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Hasbullah Thabrany dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) yang telah mendorong kenaikan harga rokok secara eksesif sehingga telah membuat kegaduhan di masyarakat.
“Isu ini berkembang akibat riset yang didanai pihak asing dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena menggiring responden kepada opini tertentu. Hal ini telah menciptakan keresahan bagi masyarakat Indonesia, khususnya petani tembakau, petani cengkeh, pekerja dan pedagang, yang menggantungkan mata pencahariannya dari industri hasil tembakau nasional,” kata Suseno Riban, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dalam acara "Industri Hasil Tembakau Nasional Meluruskan Polemik Kenaikan Harga Rokok", Kamis (25/8).
Menurut Suseno, penelitian yang dibiayai oleh Bloomberg Initiative ini sarat dengan kepentingan asing yang berniat menghancurkan industri tembakau Indonesia. “Mereka rela mengorbankan kehidupan 6,1 juta masyarakat Indonesia demi menjalankan misi LSM Asing, Bloomberg. Hanya karena Prof. Hasbullah mengejar dana penelitian sebesar Rp.4,3 miliar, ia merusak hajat hidup jutaan petani yang menggantungkan penghidupannya pada sektor ini, ” kata Suseno.
Melalui Bloomberg Initiative, dana mengalir ke banyak lembaga di dunia. Di Indonesia, dana itu menyebar ke berbagai organisasi, seperti FKM-UI, Muhammadiyah, Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (NCTC) dan Lembaga Pusat Pengendalian Tembakau, Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IPHA), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) , dan lain-lain untuk memerangi industri hasil tembakau nasional.
“Indonesia harus dapat menolak dana asing yang bertujuan untuk mengintervensi tatanan kehidupan masyarakat yang sudah ada, termasuk kehidupan dan penghidupan masyarakat yang bekerja di sektor tembakau,” jelas Suseno.
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto mengungkapkan, bahwa riset kenaikan harga rokok telah memicu kekhawatiran di seluruh lapisan dan pemangku kepentingan industri, khususnya para pekerja pabrikan rokok yang berada dibawah organisasinya.
Sudarto mengatakan, riset seharusnya mencari jalan keluar yang bijak, bukan menyudutkan pihak-pihak tertentu. Dalam riset juga harus dicari jalan keluar. “Bila akibat riset itu banyak yang dirumahkan, siapa yang mau bertanggung jawab?” tanya Sudarto.
“Dengan tingkah kenaikan harga dan cukai selama 5 tahun terakhir, ada 1.200 pabrik rokok yang gulung tikar dan terjadi PHK yang mencapai 102.500 pekerja. Apalagi bila harga rokok dinaikkan secara drastis sampai Rp 50 ribu per bungkus, tentu akan terjadi PHK massal,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Dahlan Said Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) mengatakan bahwa riset tersebut sangat tendensius pada aspek kesehatan saja, dan tidak memikirkan nasib petani dan tenaga kerja. Ia menjelaskan bahwa produksi cengkeh di Indonesia saat ini sekitar 100 ribu sampai 110 ribu ton per tahun, dan 94 persen diserap oleh industri rokok.
“Kami setuju bahwa masyarakat perlu paham akan dampak rokok bagi kesehatan, serta anak-anak harus dicegah untuk membeli dan mengonsumsi. Namun, tentunya hal tersebut tidak dilakukan dengan membunuh industri tembakau nasional. Untuk itu, kami memohon kepada para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan semua aspek industri serta menyertakan semua pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, termasuk kebijakan harga dan cukai rokok.” tuturnya.
Hasan Aoni Aziz Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengatakan, mengenai riset yang menggunakan metode survei persepsi yang dilakukan FKM UI kurang tepat, sekarang apakah dengan kenaikan harga yang tinggi tersebut dapat menurunkan tingkat konsumsi rokok? Ya, tidak juga. Kenaikan harga ini malah dapat menimbulkan kenaikan jumlah rokok ilegal.
“Pada saat harga rokok naik, rokok ilegal jadi semakin marak. Hal ini juga bertentangan dengan semangat kelompok kesehatan, sebab rokok ilegal tidak melalui proses yang tidak sesuai," katanya.
“Kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan secara sekonyong-konyong, ada mekanismenya dalam menaikkan harga rokok. Jadi kami tidak mau berandai-andai jika rokok sampai dinaikkan menjadi Rp50 ribu per bungkus,” sambungnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News