Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menilai bahwa upaya penegakan hukum melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dengan penagihan denda kepada perusahaan sawit dan pertambangan belum transparan dan berkeadilan.
Diketahui, kewajiban denda administratif mencapai puluhan triliun rupiah ini dikenakan kepada 71 perusahaan, dan sebanyak 49 di antaranya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Ketua Umum POPSI Mansuetus Darto mengatakan, terdapat sejumlah tantangan mendasar yang perlu diperbaiki agar kebijakan berjalan adil bagi semua pemangku kepentingan.
Baca Juga: WIKA Catat Nilai Kontrak Baru Senilai Rp 10,33 Triliun per November 2025
“Akar persoalan konflik lahan adalah ketidakpastian tapal batas kawasan hutan yang selama ini digunakan pemerintah,” papar Darto dalam keterangan yang diterima Kontan, Sabtu (13/12).
POPSI melihat, banyak area yang ditetapkan sebagai kawasan hutan tidak pernah diverifikasi langsung di lapangan, sehingga peta administrasi sering tidak sesuai dengan kondisi agraria nyata.
Ketidakakuratan batas kawasan itu dinilai melemahkan legitimasi kebijakan ruang dan meningkatkan konflik.
“Karena itu, POPSI mendesak Satgas PKH untuk melakukan verifikasi lapangan partisipatif serta membuka dialog dengan petani dan pemangku kepentingan industri sawit,” tegas Darto.
Selain absennya verifikasi langsung, Darto menyebut penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRTW) sering dilakukan secara top-down oleh daerah.
Keputusan tata ruang jadinya kerap tak mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan agraria masyarakat lokal. Dus, perencanaan ruang yang tidak partisipatif berpotensi menimbulkan konflik ruang berkepanjangan.
“POPSI meminta pemerintah membuka ruang dialog formal antara pusat, daerah, kota/kabupaten, dan petani sawit, sehingga RTRW mencerminkan realitas lapangan dan menjamin keadilan ruang,” ujar Darto.
Ia menambahkan, POPSI memahami denda administratif jadi bentuk penegakan hukum. Tapi, tak bisa dilakukan dengan otoriter tanpa mempertimbangkan kemampuan perusahaan.
Darto menyorot, jika perusahaan sawit bangkrut, petani plasma dan petani swadaya yang memasok buah ke pabrik akan menjadi korban pertama.
“Secara prinsip hukum administratif, penegakan sanksi harus memperhatikan asas proporsionalitas dan restorative justice,” imbuh dia.
Oleh karena itu, lanjutnya, POPSI meminta agar Satgas PKH menerapkan skema term of payment yang dapat dinegosiasi sesuai kondisi perusahaan.
Ia menekankan, kebijakan penetapan kawasan hutan perlu mempertimbangkan keberadaan pemukiman, usaha rakyat, dan kebun sawit yang telah berjalan puluhan tahun.
“POPSI mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa penertiban kawasan hutan membawa manfaat ekologis sekaligus menjaga keberlanjutan ekonomi petani sawit,” tandas Darto.
Sebagai informasi, POPSI adalah organisasi petani yang memayungi organisasi petani kelapa sawit, antara lain Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Apkasindo Perjuangan, Jaringan Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (JAPSBI), Jaringan Petani Sawit Nusantara (JPSN), dan Asosiasi Petani PIR (ASPEKPIR).
Baca Juga: Menjelang Akhir Tahun, Operator Telekomunikasi Memperluas Opsi Paket Nonton Film
Selanjutnya: WIKA Catat Nilai Kontrak Baru Senilai Rp 10,33 Triliun per November 2025
Menarik Dibaca: 6 Cara Menjaga Kesehatan ketika Musim Hujan dan Banjir, Terapkan ya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













