Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan Listrik Negara (PLN) memproyeksikan, ada tambahan pembangkit listrik hingga 3.000 Megawatt (MW) di sistem Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada tahun ini. Tambahan pembangkit itu utamanya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berskala jumbo.
Direktur Bisnis Regional Jawa, Madura dan Bali PLN Haryanto WS membeberkan, saat ini kapasitas terpasang di sistem Jamali mencapai 40.115 MW, dengan kapasitas mampu sebesar 37.301 MW.
Nah, dengan beroperasinya PLTU Jawa 7 unit 2 dan Tanjung Jati unit 5 saja, akan diperoleh tambahan kapasitas sebesar 2.000 MW.
"Kemudian ada beberapa pembangkit yang dibangun oleh PLN, tidak kurang dari 1.000 MW. Jadi mungkin bisa 2.500 MW-3.000 MW akan tambah tahun ini," terang Haryanto dalam acara daring yang digelar Selasa (23/2).
Pada tahun depan, tambahan pasokan listrik pun akan terdongkrak dengan adanya sejumlah pembangkit dari pengembang swasta (IPP) yang akan beroperasi. Haryanto bilang, tambahan kapasitas pembangkit bisa mencapai 4.000 MW - 5.000 MW pada tahun depan.
"Ada beberapa (pembangkit) IPP, PLTU Batang 2 unit, Tanjung Jati 1 unit, kemudian ada PLTGU Jawa 1, ada PLTU Cirebon," jelas dia.
Meski tak membeberkan secara detail, namun Haryanto mengakui bahwa tambahan kapasitas pembangkit itu akan memperlebar kelebihan pasokan (oversupply) di sistem kelistrikan Jamali. Untuk itu, meningkatkan konsumsi (demand) listrik menjadi tantangan serius bagi PLN dan pemerintah.
Baca Juga: Bangun jaringan 850 kVA, PLN pasok listrik ke Food Estate Sumatra Utara
"Kemampuan pembangkit, supply ke depan sangat mencukupi. Justru akan cenderung oversupply. Dengan ini, pekerjaan rumah kami adalah bagaimana meningkatkan demand di Jamali," ungkap Haryanto.
Sebagai informasi, saat ini Sistem Jamali menopang kelistrikan nasional. Dengan jumlah pelanggan mencapai 49,41 juta per Desember 2020, Sistem Jamali berkontribusi sekitar 70% dari total konsumsi listrik nasional.
Namun dari jumlah tersebut, sebanyak 61% pelanggan masuk ke dalam golongan tegangan rendah, kemudian 32% pelanggan tegangan menengah, dan 7% pelanggan termasuk ke golongan tegangan tinggi.
Dengan struktur pelanggan tersebut, konsumsi (demand) listrik tidak akan signifikan, jika dibandingkan konsumsi di sektor industri dan bisnis. Selain itu, dengan struktur pelanggan tersebut, susut jaringan (losses) listrik pun sulit untuk ditekan.
"Semakin rendah tegangannya, losses secara teknis akan lebih tinggi. Ini yang barangkali harus menjadi pertimbangan yang memang disparitas begitu tinggi," ujar Haryanto.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan permintaan listrik saat ini belum sepenuhnya pulih terlebih akibat pembatasan kegiatan masyarakat yang masih terjadi.
Apalagi, dampak bencana alam dan cuaca ekstrem dalam sebulan terakhir dinilai turut berpotensi mengganggu investasi. "Pada kuartal I-2021 sepertinya pertumbuhan listrik di kisaran 3% atau masih di bawah target yang sebesar 5%," kata Fabby kepada Kontan.co.id, Minggu (21/2).
Dia melanjutkan, PLN berpotensi mengalami reserve margin mencapai 55% di tahun ini seiring beroperasi pembangkit di Jawa-Bali dan Sumatra. Kondisi ini membuat banyak kapasitas yang tidak akan terserap dan dinilai berbahaya bagi kondisi keuangan PLN.
"COD (operasi komersial) pembangkit yang bisa ditunda, sebaiknya ditunda. Selain itu perlu ada upaya-upaya yang lebih sistematis untuk menurunkan excess capacity dan beban finansial PLN," jelas Fabby.
Selanjutnya: Baru satu bulan mengarungi tahun 2021, defisit APBN sudah mencapai Rp 45,7 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News