Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berharap pemerintah memperluas regulasi program kendaraan Low Cost Green Car (LCGC) menjadi Low Carbon Emission Vehicle (LCEV). Hal ini untuk mendorong ekosistem kendaraan listrik di Indonesia demi mencapai target karbon netral pada 2060.
Program pemerintah terkait Kendaraan Bermotor Hemat Bahan Bakar dan Harga Terjangkau (KBH2) atau Low Cost Green Car (LCGC) sudah dijalankan pemerintah sejak 2013. Namun, perlu adanya pembaruan kebijakan terkait LCGC, seiring perkembangan teknologi dan isu lingkungan yang semakin kuat.
Peluncuran varian mobil listrik diharapkan dapat mendorong makin banyak orang memiliki mobil, mengurangi subsidi bahan bakar, dan untuk berkompetisi dengan mobil impor, serta memperbanyak lapangan kerja di dalam negeri.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengakui, jika saat ini harga mobil listrik dengan spesifikasi yang setara LCGC masih lebih mahal. Namun, seiring perkembangan teknologi, terutama perkembangan baterai yang harganya sepertiga dari keseluruhan mobil, tentunya ke depan mobil listrik akan semakin murah.
"Produsen otomotif China sudah memproduksi mobil listrik murah di kisaran harga Rp 60 juta. Saya kira program LCGC ke depan akan lebih tepat untuk mobil listrik. Terlebih Indonesia sudah mampu memproduksi baterai mobil di dalam negeri," kata Bob dalam keterangan resmi, Minggu (21/11).
Baca Juga: Jokowi minta PLN perjelas grand strategy transisi energi ke EBT
Terkait dengan pilihan mobil ramah lingkungan saat ini di Indonesia, Bob percaya jika kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) lebih baik dibandingkan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV). Berbeda dengan KBLBB yang nol emisi, mobil hybrid masih menghasilkan emisi, karena listriknya diproduksi menggunakan internal combustion engine (ICE).
"Selain itu, efisiensi mobil listrik akan sangat terasa untuk pelanggan jika langsung ke mobil full listrik. Sistem mobil listrik simpel, artinya biaya pemeliharaannya murah juga. Komponennya juga lebih sedikit, tidak seperti ICE yang jumlahnya cukup banyak, sehingga untuk jangka panjang pemeliharaan lebih hemat," lanjut Bob.
Terlebih, Bob menambahkan, dari sisi konsumsi bahan bakar mobil listrik terbukti lebih efisien dibandingkan mobil konvensional. Untuk 1 kilo Watt hour (kWh) listrik mampu menggerakkan mobil listrik sejauh 10 kilometer (km), sama dengan konsumsi mobil konvensional untuk 1 liter bensin.
"Penghematannya di mana? Katakanlah menggunakan Pertamax yang satu liter sekitar Rp 9.000, 1 kWh listrik tegangan rendah sekitar Rp 1.444. Itu berarti dapat penghematannya mencapai enam kalinya, sangat hemat sekali," ujarnya.
Memang, Dia mengakui, dengan menggunakan mobil listrik akan meningkatkan tagihan listrik rumah. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan biaya pengeluaran untuk BBM bulanan, tentunya akan berbeda jauh.
"Terlebih PLN ada program diskon pengisian mobil listrik dari jam 10 malam sampai 5 pagi. PLN juga menyediakan program tambah daya bagi pemilik mobil listrik dengan memberi diskon penambahan yang tadinya maksimal Rp 4,5 juta menjadi hanya Rp 150 ribu saja," ucapnya.
Selain mengisi mobil di rumah, PLN juga sudah menyiapkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan membuka kesempatan pihak swasta ikut menyediakan fasilitas pengisian energi kendaraan listrik tersebut, dengan begitu bisa menjadi peluang usaha baru. Berbeda dengan Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU), SPKLU bisa dibangun dengan lebih sederhana dan tidak memerlukan lahan yang besar.
"Siapapun bisa membuka SPKLU, hanya memerlukan lahan 50x50 centimeter untuk satu charging station atau satu meter untuk dua, serta tempat untuk parkir waktu mengisi daya mobil. Tidak perlu lahan khusus untuk penampungan seperti BBM, karena kita penampungannya di jaringan," kata Bob.
PLN juga telah meluncurkan aplikasi Charge.IN, aplikasi pengisian daya (charging) pertama pada Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) bagi konsumen pemilik KBLBB. Aplikasi ini dapat menunjukkan lokasi SPKLU maupun besaran pengisian daya. Melalui aplikasi ini, pemilik KBLBB bisa mengontrol dan mengendalikan pengisian daya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan suplai energi di Indonesia 67% berasal dari batu bara, 15% bahan bakar atau fuel dan 8% gas. Apabila Indonesia dapat mengalihkan energi tersebut maka akan berdampak pada keuntungan pada neraca pembayaran.
“Kalau kita bisa mengalihkan ke energi lain misalnya mobil diganti dengan listrik semuanya, karena PLN oversupply, maka pasokan dari PLN terserap dan impor minyak Pertamina menjadi turun,” ujarnya.
Dirinya menambahkan, transisi energi ini tidak bisa ditunda-tunda. Perencanaan sudah harus mulai disiapkan. Peralihan menuju energi yang lebih ramah lingkungan adalah salah satu upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim.
Baca Juga: Jokowi minta transisi energi jangan diulur
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memastikan kesiapan pemerintah memasuki era kendaraan listrik. Peta jalan pengembangan industri otomotif pun disesuaikan dengan upaya mengurangi emisi karbon.
Kemenperin pun telah mengeluarkan dua peraturan Menteri Perindustrian. Pertama, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selanjutnya, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap sebagai bagian tahap pengembangan industrialisasi KBLBB di Indonesia.
"Hingga 2030, industri dalam negeri ditargetkan dapat memproduksi mobil listrik dan bis listrik sebanyak 600 ribu unit. Dengan angka tersebut, diharapkan konsumsi BBM dapat berkurang sebesar 3 juta Barrel serta menurunkan emisi CO2 sebanyak 1,4 juta Ton," jelas Menperin.
Target ini ditetapkan untuk mendukung pemenuhan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Untuk memenuhi target tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73/2019 Jo PP 74/2021 yang merevisi aturan tarif PPnBM bagi kendaraan bermotor berdasarkan tingkat konsumsi bahan bakar dan emisi CO2.
"Tentunya insentif PPnBM tersebut hanya diberikan untuk kendaraan bermotor produksi dalam negeri yang memenuhi persyaratan pendalaman manufaktur atau TKDN dalam rangka menarik investasi di sektor perakitan kendaraan bermotor, industri komponen, serta infrastruktur pendukungnya," kata Agus.
Selanjutnya: Dorong percepatan hilirisasi, Kementerian ESDM finalisasi insentif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News