Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak lama lagi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029 akan segera diterbitkan oleh pemerintah. Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam RUPTL tersebut adalah masih tingginya bauran energi batubara untuk pembangkit listrik.
Berdasarkan draf RUPTL 2020—2029 yang diterima Kontan.co.id pada Rabu (6/1), porsi batubara dalam bauran energi nasional diproyeksikan mencapai 60,7% di tahun 2025 mendatang. Kemudian, porsi batubara malah kembali meningkat jadi 65% pada tahun 2029.
Sementara itu, pemerintah masih menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebanyak 23% pada tahun 2025 nanti. Namun, di tahun 2029, porsi EBT tidak berubah alias tetap 23%.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menilai, secara umum, draf RUPTL 2020—2029 tampak mengecewakan dan tidak merefleksikan respons PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pemerintah terhadap fenomena transisi energi yang sedang terjadi di seluruh dunia. Apalagi, saat ini beberapa lembaga pendanaan dan investor global mulai meninggalkan sektor energi fosil.
Baca Juga: Porsi batubara dalam bauran energi meningkat pada RUPTL 2020-2029
Peningkatan bauran batubara menjadi 65% di tahun 2029 dipercaya akan meningkatkan potensi risiko stranded asset atau penurunan nilai aset tak terduga/prematur serta beban finansial bagi PLN dalam jangka panjang.
Hal ini tak lepas dari perubahan preferensi konsumen dan potensi merebaknya pembangkit listrik terdistribusi berbasis energi terbarukan, seperti panel surya yang akan semakin menekan permintaan listrik PLN di masa depan karena harga listriknya lebih ekonomis bagi pihak pelanggan, khususnya industri dan komersial dibandingkan dengan tarif listrik dari PLN.
“Perubahan tren ini tidak tercermin dari perencanaan pembangkit yang terdapat dalam RUPTL tersebut,” ujar Fabby, Kamis (7/1).
Kembali merujuk draf RUPTL, seiring adanya peningkatan porsi batubara, maka kebutuhan tambahan kapasitas PLTU batubara mencapai 19.050 MW (45,6%) di periode 2020—2029.
Menurut Fabby, peningkatan bauran energi dari batubara salah satunya disebabkan eksekusi sisa-sisa proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan proyek listrik 35.000 MW yang sudah di fase perencanaan, dan yang memulai konstruksi di 2021—2023.
Di samping itu, PLN dinilai mendapat tugas untuk menyerap produksi batubara domestik seoptimal mungkin. Ini mengingat dari sisi outlook jangka panjang, eskpor batubara diperkirakan akan menurun. "Alhasil, sektor listrik dalam negeri menjadi sumber penyerap batubara domestik,” imbuh dia.
Dalam draf RUPTL juga dijabarkan kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit berbasis EBT di periode 2020—2029. Di antaranya, PLTA/PLTM sebesar 7.976 MW (19,1%), PLTP sebesar 3.552 MW (8,5%), dan EBT lain sebesar 2.763 MW (6,6%) yang terdiri dari PLTS, PLTB, PLTSa, PLTBg, PLTBn, PLTH, PLTBm, dan PLT Arus Laut.
Baca Juga: Sri Mulyani: Perbaikan harga komoditas sokong PNBP pada 2020
Fabby menyebut, proyeksi tambahan kapasitas pembangkit EBT di dalam RUEN 2020—2029 kurang memuaskan. Sebab, berdasarkan hitungan IESR, untuk mencapai target bauran 23% dibutuhkan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT sebanyak 13 GW hanya dalam periode 2020—2025.
Sedangkan untuk masuk ke dalam jalur transisi energi, maka porsi bauran EBT di tahun 2029—2030 seharusnya mencapai 35%. “Ini artinya bauran energi batubara harusnya berkurang ke level 50%, bukan malah bertambah 65% seperti yang ada di draf RUPTL 2020—2029,” ungkap dia.
Di luar itu, Fabby mendengar bahwa rancangan RUPTL periode 2021—2030 yang sedang dibahas memuat adanya potensi penurunan porsi pembangkit listrik berbasis batubara.
“Semoga saja ada perubahan nanti, sehingga ruang untuk pembangkit energi terbarukan lebih besar untuk masuk di sistem PLN,” pungkas dia.
Selanjutnya: Harga batubara melesat di 2020, bagaimana prospeknya di 2021?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News