Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan Gas Alam Cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) dinilai lebih baik dimanfaatkan untuk kebutuhan gas dalam negeri sebagai substitusi pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) melalui pengembangan jaringan gas (jargas).
Menurut praktisi migas sekaligus Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), Hadi Ismoyo, target Indonesia mengganti gas LPG dengan produk hilirisasi batubara dalam bentuk Dimetil eter (DME), dipastikan biayanya lebih mahal dari pengembangan gas pipa maupun LNG.
"DME bisa menggantikan LPG jika harganya masuk. Namun masih lebih mahal dari Gas Pipa dan LNG. Membangun DME Plant itu sangat mahal. Rule of thumb untuk membangun 1 DME butuh sekitar US$ 2 miliar," jelas Ismoyo, dikutip Kamis (30/10/2025).
Baca Juga: Ada di Tangan Danantara untuk Proyek Batubara Pengganti LPG
Ismoyo juga menegaskan akan rebih realistis menggunakan LNG, karena sumber alami di Indonesia yang lebih besar dibanding LPG.
"Kita punya resources yg lebih berlimpah daripada LPG. Catatan juga effect samping dengan DME adalah karena kan tujuannya dibuat dari syngas dari batubara muda (kalori rendah). Kerusakan lingkungan dari proses pirolisis ini juga perlu diperhitungkan," jelasnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) cadangan gas bumi Indonesia per Mei 2025, tercatat sebesar 51,98 triliun kaki kubik (TCF).
Angka ini adalah cadangan yang telah ditemukan, dapat dipulihkan, dan komersial (proven, probable, possible).
Ufo Budiarius Anwar, Vice President Komersialisasi SKK Migas mengungkapkan dalam beberapa tahun ke belakang serta ke depan temuan gas cukup besar.
Hanya saja tantangannya adalah temuan tersebut berada di wilayah timur Indonesia, sementara demand terpusat di Indonesia bagian barat.
"Kita banyak temuan cadangan gas, tapi daerah timur Indonesia jadi bagaimana bawa cadangan gas menjadi produksi dan dikirim ke end user yang ada di jawa dan sumatera," kata Ufo.
Lebih detail, berdasarkan data SKK Migas pada 2024 rata-rata penyaluran gas bumi mencapai 5.613,43 BBTUD dengan persentase pemanfaatan gas bumi sektar 60% lebih diperuntukkan untuk kebutuhan domestik.
Untuk industri 26,24%, kemudian pupuk dan kelistrikan masing-masing 12,3% dan 12,51%. Sisanya ada untuk LNG domestik 12,39%, untuk lifting minyak 3,73%, untuk LPG 1,37% BBG dan jaringan gas sebesar 0,13% dan 0,22%.
Sementara untuk ekspor persentasenya hanya 24,17% untuk ekspor LNG serta ekspor gas pipa yang diekspor ke Singapura 6,95%.
Baca Juga: ESDM Genjot Produksi LPG Dalam Negeri, Kurangi Ketergantungan Impor
"Gas itu lokomotif energi Indonesia sangat cocok dengan transisi energi. Masalahnya ya infrastruktur tadi. Gas paling banyak digunakan paling besar kelistrikan, pupuk. Ada city gas jargas itu adalah potensi kurangi LPG impor tadi," ucap Ufo.
Di sisi lain, menurut Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Ishak Razak, proyek DME ini memerlukan pengembangan teknologi lebih lanjut hingga diperoleh biaya produksi yang lebih rendah.
Jika mengacu pada penawaran investor China, yang sebelumnya dipaparkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno.
Nilai investasi DME berada di kisaran modal US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 19,7 triliun (kurs Rp 16.440) atau US$ 900-1.000 per ton.
"Kalau nilainya dikisaran US$ 900-US$ 1000 per ton, hampir 2 kali lipat dari nilai impor LPG yang berada dibawah US$ 500 per ton," ungkap dia.
Jika biayanya sebesar itu, menurut dia, maka akan sangat sulit untuk dijual ke konsumen, sehingga harus ada alokasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan LPG.
"Memang pemberian insentif seperti yang diusulkan pemerintah, akan mengurangi biaya produksi energi tersebut, namun pemerintah harus menghitung dengan detail berapa potensi penurunan biaya produksi dengan insentif fiskal tersebut, kapan proyeksi nilai keekonomiannya bisa bersaing dengan LPG," jelasnya.
Ishak menambahkan, pemerintah dapat mendorong pengembangan gasifikasi dengan memanfaatkan sumber LNG domestik.
"Lebih baik pemerintah mendorong pengembangan gasifikasi lewat jaringan gas kota dengan memanfaatkan LNG domestik. Subsidi memang untuk infrastruktur memang cukup besar namun bisa mengurangi subsidi dalam jangka panjang," ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap target DME akan dieksekusi tahun depan. Menurutnya saat ini Kementerian ESDM tengah menguji dua teknologi gasifikasi batu bara yang berasal dari Korea Selatan-Eropa.
"Sekarang kami lagi uji FS (feasibility study)-nya dengan teknologinya, tetapi ancang-ancangnya sudah ada dua, satu dari China, satu lagi gabungan antara Korea dan Eropa,” ucap Bahlil ketika ditemui di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Selanjutnya: Presiden Korea Selatan Minta Bantuan Presiden Xhina untuk Menghadapi Korea Utara
Menarik Dibaca: Begini Dampak Perubahan Iklim Bagi Perempuan dan Anak di Wilayah Pesisir
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













