Reporter: Mona Tobing | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Hampir sebulan Undang-Undang Perkebunan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski begitu, Kementerian Pertanian (Kemtan) belum juga menyiapkan turunan beleid tersebut. Padahal, beberapa pasal krusial dalam UU perlu mendapatkan kejelasan yang biasanya dilakukan dalam PP.
Beberapa pasal itu misalnya pembatasan investor asing pada sektor perkebunan hingga kewajiban pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah 20% dari total areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.
Hendrajat Natawidjaja, Direktur Tanaman Tahunan Kementerian Pertanian (Kemtan) mengatakan, pihaknya segera menyusun PP tersebut. Tapi, kapan waktunya, ia tidak dapat memastikan.
Selain karena menunggu Menteri Pertanian baru, aturan ini tidak dapat langsung disusun. Khusus untuk pembangunan lahan plasma, Hendrajat menyebut, butuh waktu setahun untuk menganalisa sektor perkebunan mana yang sekiranya tepat untuk pemberlakuan pelaksanaan UU tersebut.
Yang jelas, saat ini, yang paling cocok untuk diterapkan adalah perusahaan yang memiliki perkebunan kelapa sawit dan karet. Sebab, dua komoditas tersebut telah dikelola oleh industri dan peran serta swasta di dalamnya cukup besar.
Selain itu, dua komoditas itu memiliki nilai yang tinggi. "Saya rasa pelaku usaha siap menyediakan perkebunan plasma," ujarnya kata Hendrajat, Rabu (22/10). Apalagi, mereka juga harus memenuhi persyaratan untuk industri pengelolaan dari bahan baku sendiri minimal 20%. Harapan Kemtan, dengan plasma maka kualitas minyak sawit yang dihasilkan rakyat sebagus kualitas pasar internasional.
Beberapa perusahaan kelapa sawit pun mengaku tak keberatan akan aturan ini. Bahkan, sebagian mengklaim sudah menerapkannya. PT Astra Agro Lestari Tbk, misalnya, sudah memberikan 25% lahannya untuk kebun plasma. Sedangkan PT Sampoerna Agro Tbk sudah melewati batas minimum dari kewajiban pembangunan kebun masyarakat tersebut.
Kepala hubungan Investor Sampoerna Agro Michael Kusuma menyebut, dari area tertanam yang dimiliki perusahaan saat ini, sekitar 40% merupakan kebun masyarakat dengan skema plasma. Saat ini, luas tertanam yang dimiliki perusahaan itu mencapai 120.000 hektare (ha).
Sedangkan PT Jaya Agri Wattie Tbk masih mengebut pembuatan plasma kebun yang sesuai dengan UU Perkebunan. Hingga Agustus, luas lahan kebun plasma perusahaan baru 5.600 ha. Targetnya, tahun ini bisa mencapai 8.000 ha atau 21% dari luas lahan perusahaan.
Komoditas lain seperti kakao, teh, kopi, dan tanaman rempah lain belum akan mengikuti kewajiban tersebut. Sebab, mayoritas lahan perkebunan yang dimiliki oleh komoditas tersebut masih dikuasai oleh petani swadaya alias rakyat. Perusahaan biasanya lebih berperan di sektor hilir dibandingkan hulu.
Sementara itu, untuk turunan aturan pembatasan kepemilikan asing, Dirjen Perkebunan Gamal Nasir melihat ada potensi pembatasan tidak sebesar 30%. Angka itu sebelumnya diusulkan DPR.
Gamal sempat bilang bahwa seharusnya porsi investor asing lebih besar untuk mendorong minat investasi asing menanamkan modalnya di dalam negeri. Kemungkinan besar, angka pembatasan akan dibedakan menurut jenis tanaman perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu.
Sebenarnya target pembuatan PP Perkebunan adalah enam bulan sampai satu tahun setelah UU Perkebunan di ketok. Yang jelas, aturan ini tidak akan berlaku surut demi menjaga minat asing masuk ke sektor perkebunan yang tiap tahun naik signifikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News