Reporter: Fitri Nur Arifenie, Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Petani tembakau keberatan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang Tembakau. Mereka berpendapat beleid yang ditetapkan pada 24 Desember 2012 ini bisa menekan bisnis tembakau di dalam negeri.
Ada beberapa pasal yang memberatkan petani tembakau dalam negeri maupun perusahaan rokok skala kecil dan menengah. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Nurtantio Wisnu Brata, menilai pasal-pasal yang memberatkan itu antara lain mengatur soal standarisasi, tata niaga, diversifikasi produk dan kegiatan promosi/periklanan.
Apabila PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan ini menekan industri rokok, maka bisa dipastikan petani tembakau ikut terkena dampaknya. "Pasal 10 hingga pasal 12 jelas akan menekan petani tembakau karena ada standardisasi dan petani tembakau tidak bisa memenuhi ini," ungkap Nurtantio, Rabu (9/1).
Pasal 10 ayat 1 PP 109 menyebutkan, setiap orang yang memproduksi produk tembakau berupa rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan tar per batang untuk setiap varian yang diproduksi. Kemudian pasal 11 ayat 1 mengamanatkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dilakukan di laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Para petani dan perusahaan rokok UKM akan keberatan dengan pemberlakuan uji kadar nikotin dan tar. Pengujian itu butuh biaya tak sedikit. Apalagi, "Produk industri kecil tak sebaik produk perusahaan besar," ungkap Nurtantio.
Implementasi PP 109 juga bisa menyebabkan produk tembakau impor membanjir. Pasalnya, tembakau impor lebih bisa memenuhi standarisasi ketimbang tembakau lokal. "Tembakau lokal akan tertekan oleh tembakau impor," ujar Nurtantio.
Dalam beberapa tahun terakhir, Nurtantio mengatakan impor tembakau selalu melonjak saban tahun. Pada 2003, volume impor tembakau hanya 23.000 ton. Kemudian impor di 2011 naik menjadi 91.000 ton. "Pada 2012 impor tembakau menembus 100.000 ton dan dikhawatirkan tahun ini impor tembakau bisa 120.000 ton," tutur Nurtantio.
Masuknya tembakau impor berpotensi memukul harga tembakau di kalangan petani lokal. Nurtantio mencontohkan, pada 2012 ketika impor tembakau cenderung meningkat, harga tembakau terkoreksi. "Tahun lalu, harga tembakau turun 20% hingga 35% dibandingkan harga 2011," papar Nurtantio. Di saat yang sama, produksi tembakau selama 2012 naik 9,68% year-on-year menjadi 170.000 ton.
Agar produk tembakau lokal bisa memenuhi standar, Nurtantio meminta pemerintah melakukan terobosan. Terobosan itu, misalnya, berupa program meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman lain seperti Gerakan Nasional Karet dan Gerakan Nasional Kakao. Jika kualitas tembakau lokal terus membaik, petani tentu tak mencemaskan PP 109. "Tapi itu butuh dana dan anggaran di Kementerian Pertanian untuk tembakau masih nol. Kami meminta pemerintah memperhatikan tembakau," ungkap Nurtantio.
Untuk menyikapi pemberlakuan PP 109, APTI dan Komite Nasional Penyelamat Kretek berniat mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Para petani tembakau juga akan mengajukan usulan Rancangan Undang-Undang Tembakau.
Dalam usulan RUU tersebut, petani meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengakomodasi semua aspek yang terkait dengan tembakau, bukan hanya aspek kesehatan, tetapi juga aspek industrinya.
Nurtantio menilai PP 109/2012 ini hanya memperhatikan aspek kesehatan. "RUU tembakau ini jangkauannya akan lebih luas ketimbang PP Tembakau," kata Nurtantio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News