Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana ekspor listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura menuai perdebatan di dalam negeri.
Sejumlah pihak mengingatkan bahwa kebijakan ini harus dikaji lebih dalam, mengingat bauran energi terbarukan Indonesia masih rendah dan kebutuhan domestik juga terus meningkat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa ekspor listrik ke Singapura bisa menjadi langkah yang kurang sinergis dengan kebutuhan energi nasional.
Baca Juga: Menteri Bahlil Tahan Ekspor Listrik Hijau ke Singapura, AESI Beri Tanggapan
"Indonesia masih membutuhkan tambahan 75 gigawatt energi terbarukan sesuai komitmen pemerintahan Prabowo ke depan. Jika buru-buru mengekspor, kita justru bisa mengalami defisit energi hijau untuk kebutuhan dalam negeri," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (16/2).
Selain itu, muncul kekhawatiran terkait proyek carbon capture and storage (CCS) yang akan dikembangkan Singapura di Indonesia.
Menurut Bhima, ada risiko bahwa proyek ini bisa membuat Indonesia menjadi "importir sampah karbon" dari negara maju.
"Apakah Indonesia akan menjadi tempat pembuangan emisi karbon dari industri Singapura? Risiko lingkungan dari CCS ini sangat tinggi, terutama karena Indonesia rawan gempa. Jika terjadi kebocoran gas, dampaknya bisa berbahaya bagi masyarakat sekitar lokasi proyek," jelasnya.
Selain itu, Bhima menyoroti pentingnya transfer teknologi dan keterlibatan industri dalam negeri dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk ekspor.
"Kalau proyek PLTS hanya melibatkan perusahaan asing tanpa transfer teknologi dan tanpa memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), maka manfaat bagi industri nasional akan minim," tambahnya.
Baca Juga: Batubara Belum Padam, Menteri ESDM:RI Punya Kontrak Ekspor ke Eropa 20 Tahun ke Depan
Bhima juga menyoroti bahwa Singapura dan Malaysia sedang membangun kawasan ekonomi khusus di Johor.
Jika ekspor listrik hanya untuk menyuplai kawasan tersebut tanpa ada industrialisasi di Indonesia, maka Indonesia hanya akan menjadi penyedia sumber daya tanpa keuntungan lebih.
Namun, Bhima juga mengakui bahwa ekspor listrik berpotensi memberikan pemasukan devisa yang bisa memperkuat nilai tukar rupiah.